Izinkan saya mengawali kata pengantar ini dengan menyebut sebuah forum. Namanya: Pengajian Padhangmbulan. Forum ini telah dimulakan pada awal 1990-an dan diselenggarakan di Desa Mentoro, Sumobito, Jombang. Dua orang pengampu duduk di hadapan para jemaah. Mereka tak lain adalah sepasang kakak beradik, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dan Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy). Hingga saat ini, pengajian bulanan itu terus berlangsung dan memasuki tahun ke-26. Selain itu, pengajian ini telah mengilhami “anak-anak” pengajian yang sama di pelbagai tempat.
Sebenarnya, Padhangmbulan bisa juga disebut sebagai pengajian tafsir Al-Quran karena memang core dan relnya adalah mendalami ayat-ayat Al-Quran. Cak Fuad dimohonkan menguraikan pembacaan tekstual atas ayat-ayat Al-Quran. Tekstual di sini tidak dalam arti menafsirkan secara literal dan skripturalis kaku sempit, tetapi membaca ayat untuk dipaparkan khazanah tafsir dari berbagai ulama atau kitab-kitab tafsir. Dari situ, sebuah pemahaman dicoba didapatkan.
Pada sisi lain, Cak Nun bertugas mengampu tafsir kontekstual. Beliau mencoba membaca realitas sosial, politik, budaya, dan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pemahaman Al-Quran yang telah dipaparkan Cak Fuad terlebih dahulu. Dengan kombinasi dua tafsir ini, tekstual dan kontekstual, Padhangmbulan membangun fondasinya. Dan, segala hal yang berlangsung di Padhangmbulan—diskusi, keakraban, pemberdayaan ekonomi, kerja sama, pengembangan seni dan budaya, dan macam-macam kegiatan lainnya—tetap kokoh ditopang oleh fondasi tersebut.
Sampai saat ini, tidak terlalu sulit untuk menyadari dan merasakan bahwa pada semua forum yang Cak Nun ampu dan inisiasi—baik yang regular di sejumlah kota maupun Sinau Bareng atas undangan berbagai pihak dan segmen masyarakat—Al-Quran dan Al Hadis senantiasa merupakan foundational text. Pada Sinau Bareng di Universitas Tidar, Magelang, belum lama ini, Wakil Rektor turut mengatakan bahwa dalam Sinau Bareng dan Maiyah segala sesuatu dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah.
Jauh sebelum pengajian Padhangmbulan lahir, Cak Nun adalah sosok penulis sangat produktif yang menurut pengamatan saya, memiliki kecenderungan pemikiran yang sangat kuat terhadap napas Al-Quran. Hal tersebut terlihat dari cukup banyak digunakannya terminologi, istilah, atau ungkapan Al-Quran dalam tulisan-tulisan beliau.
Sejumlah ayat tertentu bahkan dipakai secara langsung sebagai pendekatan dalam membangun konsepsi atau pemahaman. Misalnya, melalui dua ayat terakhir (22—24) Surat Al-Hasyr, Cak Nun menemukan dan mengartikulasikan paradigma kepemimpinan, termasuk memotret bagaimana seyogianya kepemimpinan dunia dibangun.