Panas terik matahari membakar bumi. Kemarau datang memanjang. Daun-daun kering meranggas berjatuhan agar mengurangi beban. Sebuah musim tahun politik yang panas ikut menaikkan tensi suhu bumi cukup tinggi. Setinggi kenaikan penyandang penyakit kolesterol yang menyantap seporsi daging kambing. Media sosial apalagi, lebih memanggang emosi dan mengompori hati dengan berbagai bentuk provokasi. Tahun politik di era sosial media akan selalu menjadi tahun yang mengerikan dan p[enuh pertikaian.
Ah lupakan sejenak tahun politik, yang meski sudah usai pun tetap mudah panas. Mari kita tengok sebuah komplek perumahan sederhana nan asri, di pinggiran ibu kota. Tersebutlah sebuah nama seorang laki-laki berusia 40 an tahun. Dia bukan terinpirasi oleh pengusaha salon tanah air, yang sukses memulai usahanya dari garasi, bukan itu. Dia bikin usaha di garasi karena mobilnya sudah dijual gara gara kalah ikut nyaleg di tahun politik. Akhirnya dia menyulap garasinya menjadi warung kelontong.
Kalau sekarang orang mengenal WFH (Work From Home) dia sudah melakukan 7 tahun silam. Sebenarnya laki laki itu dulu pekerja kantoran, namun karena karirnya menthok lantaran si bos selalu membawa orang luar untuk duduk di manajemen, dia pun mundur dari sebuah majalah mingguan. Gara gara suka membaca buku Cashflow Quadrant karya Robert Kiyosaki dia pun berpindah haluan dari karyawan menjadi pengusaha. Pria itu memilih resign daripada bertahan tapi tiap hari menyanyikan lagu "sakitnya tuh disini".
Pria yang sehari-hari berkacamata minus, rambut sedikit keriting dan berbadan tegap cieee, meski nggak sekekar tentara NATO atau Super Hero yang ada di film-film Avengers. Setidaknya dengan olahraga lari seminggu tiga kali membuat wajahnya kelihatan lebih muda dari usianya. Dengan bekerja di rumah, dia bisa rutin berolahraga menjaga penampilab, cie kayak artis. Coba pegawai kantoran mana bisa sering olahraga hehehe. Inilah sebuah cerita sederhana di zaman milenial tentang seorang pria dewasa yang tersebut sebagai Markesot.
***
Jemari lentiknya masih lincah menari di atas keyboard di Komputer jadul pentium 4. Kadang matanya melotot di depan komputer, padahal sudah 5 jam dia duduk di kursi putar. Kata orang bijak, setiap 2 jam sekali orang yang duduk, harus berdiri, karena tidak baik untuk kesehatan mata dan punggung. Sebenarnya punggung Markesot sudah super pegel, tapi kalau sudah nulis di depan komputer, ia jadi lupa segala-galanya, tak merah dan tak juga jingga (kayak lagunya Ebiet hehehe). Baru ketika anak-anak di musola dengan suara sumbangnya melantunkan puji-pujian sebelum Maghrib menggunakan speaker tua, menjadi pertanda Markesot harus berhenti dan turun dari “tahta”nya. Kalau suara anak anak di langgar itu merdu sih enak aja dengarnya, tapi ini berisiknya minta ampyuun, seperti telinga sedang dimasukin cottonbuth segede gaban.
Markesot menamakan dirinya ghostwriters atau penulis bayaran, bukan pembunuh bayaran ya hehehe. Pekerjaannya menulis buku untuk klien, dari situ dia mendapat bayaran. Itulah pekerjaan yang sudah dijalani selama 5 tahun, sejak berhenti jadi Wartawan. Ilmu menulis ia dapatkan sejak jaman mahasiswa, di pers kampus pada era reformasi dulu. Setelah lulus, dia mengadu nasib ke Jakarta menjadi wartawan, hingga ia berhenti karena merasa lelah.
Markesot mempunyai dua orang anak dan seorang istri (jangan dibalik). Bininya orang Medan, tapi keturunan Jawa, istilah kerennya “pejabat”, peranakan Jawa Batak. Dua anaknya masih kecil namanya cantik-cantik. Yang gede kelas 6 SD namanya Rosalia, mirip nama bus jurusan Jakarta -Solo hehehe dan yang kecil kelas 1 SD namanya Matahari, keduanya bunga yang disukai Markesot. Kalau anak ketiga lahir rencananya akan diberi nama Kamboja. Tapi bininya nggak sudi, alasannya Kamboja itu bunga kuburan, lalu ia menelan pil KB hingga sekarang nggak hamil-hamil.
Nah disamping menjadi penulis bayaran, Markesot juga menulis buku untuk diterbitkan. Buku apa saja ia tulis, dari fiksi maupun non fiksi. Lalu dikirimkan naskah itu ke penerbit. Setelah itu, menunggu hasil seleksinya yang lamanya pakai banget. Saking lamanya, Markesot pernah ditelpon penerbit yang memberitahu jika karyanya akan diterbitkan. Markesot kaget. karena lupa kapan mengirimnya. Penerbit itu bisnis, hanya mau menerbitkan karya yang kemungkinan besar laku di pasaran. Mungkin dari 30 naskah yang masuk sehari hanya 1 yang diterbitkan. Selebihnya akan masuk ke tempat pembuangan akhir semacam TPA Bantar Gebang .
Ya begitulah sejak era internet mulai banyak yang mengakses, industri buku terpuruk terlalu dalam, karena kata pakar ekonomi, ada disruption atau pergeseran dari cetak ke digital. Tak pelak lagi industri buku terjun bebas dari angkasa menuju medan perwira. Sebab nggak ada internet saja, industri ini sudah menjerit teriak-teriak, apalagi ditambah era sosial media yang menggila, makin menambah panjang daftar korban penderitaan akibat pergeseran dunia maya. Tapi penerbit ditengah tekanan berusaha bertahan tidak minta insentif pemerintah, pengurangan pajak atau fasilitas lainnya. Padahal pajak penulis cukup besar PPH nya 15 % bro, asli kalah sama UKM yang cuma kena 0,5%.
Balik lagi ya, naskah sesampai di penerbit ada yang diterbitkan namun ada yang ditolak. Nah naskah yang ditolak, kalau dinilai Markesot bagus dan ia ada duit maka akan diterbitkan sendiri. Biasanya dicetak sendiri secara satuan biar nggak rugi lewat percetakan print on demand, lalu dijual secara online. Nama kerennya self publishing, yakni penerbitan dengan biaya sendiri. Lalu buku itu dijual di sosial media kalau ada yang beli tinggal cetak lagi, jadi gak rugi. Namanya dagang, ada yang laku, ada yang nggak, kalau gak laku ya dibaca sendiri hehehe.
Kalau bukunya diterbitkan di penerbit mainstream, biasanya dicetak dalam jumlah yang cukup banyak, lalu dijual di toko buku. Nah kalau buku itu laku, Markesot akan mendapat royalti, besarnya 10% hari harga jual, sebelum dipotong pajak. Ternyata pajak penulis itu sangat mencekik leher. Meskipun leher penulisnya pendek tetap saja akan tercekik hehehe. Makanya Markesot ikut berteriak kencang dan mendukung ketika ada seorang penulis terkenal memboikot menerbitkan buku jika pajak penulis tidak diturunkan. Setelah beberapa lama, pajak penulis tidak berkeming, namun si penulis terkenal itu akhirnya kembali menulis dan bukunya bertengger ke pasaran.
“Jadi penulis itu berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja, “ status FB Markesot yang diinspirasi sebuah film yang sukses pada zaman now.
***
Sehari-hari Markesot bekerja di rumah, kebetulan rumahnya dua lantai, lantai bawah untuk rumah tangga, sedangkan lantai dua untuk kantor. Istilah kerennya rukan atau rumah kantor heheh. Di lantai atas yang menghadap jalan ada spanduk tertulis “Biangkerok Publishing”perusahaan penerbitan indie milik Markesot. Satu-satunya alasan menggunakan nama Biangkerok karena Markesot adalah penggemar berat legenda Betawi Haji Benyamin Sueb, dimana ia pernah main film berjudul Benyamin Biangkerok. Dalam ruangan tidak ada gambar Presiden, yang ada ya itu gambar Benyamin.
Jambul adalah satu-satunya asistennya, kerjanya serabutan. Karyawan yang lain sudah dipecat karena order sedang lesu. Dulu selain Jambul, Markesot juga merekrut marketing dan reporter, tapi itu dulu, sekarang Jambul sorangan wae. Namanya usaha kadang naik turun, kadang timbul kadang tenggelam, jangan sampai tenggelam tapi nggak timbul timbul tapi tarzan tarzan (kayak srimulat heheh) yang penting yakin dan tidak menyerah. Hidup harus jalan terus, nggak kalah sama belok kiri hehehe.
Jambul hanya lulusan STM tapi ia ahli desain grafis yang mengerjakan desain buku atau majalah. Disebut Jambul karena rambutnya disisir ke atas mirip jambul burung kakatua. Orangnya nurut dan loyal, itu yang dicari Markesot, sebab banyak karyawan yang pintar tapi tidak loyal. Akhirnya malah ngrecokin pekerjaan. Makanya pemerintah tidak butuh Menteri yang pinter tapi tidak loyal karena akan menusuk dari belakang wuih ngeriiii. Ilmu pas-psan nggak apa-apa yang penting loyal karena ilmu itu mah bisa dipelajari ibarat pepatah ala bisa karena biasa, semua yang dilatih pasti akan mahir.
***
Siang itu hape Markesot berdering, dengan nada dering lagu “Jika” yang dinyanyikan Melly Goeslow. Ketahuan kan usia nya berapa? Seseorang berbicara diujung telepon sana.
“Pagi dengan pak Markesot?”
“Ya saya sendiri Pak“
“E begini pak, nama saya Sumanto ?”
Markesot diam sebenarnya, dia pernah mendengar nama itu di berita, nama yang kesannya tidak nyaman di telinga.
“Oooo saya bukan Sumanto yang makan manusia itu pak, saya Sumanto seorang pengusaha dealer mobil, pengusaha dealer mobil Pak“
“Ya ya ya saya nggak mikir ke sana, ada apa pak Manto?”