MARNI

Shafura
Chapter #1

Bab 1

Menjadi seorang ibu rumah tangga bukan sebuah beban bila dijalani dengan ikhlas. Marni adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki lima orang anak dan suami berprofesi seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Alasan wanita itu tidak bekerja karena suami tidak mengizinkannya. Katanya lebih baik dia mengurus suami dan anak-anak saja di rumah, biar suami yang mencari nafkah. Ya, sudah dia terima keputusan sang suami, meski harus hidup pas-pasan asal tidak kelaparan.

Pagi itu, Marni baru selesai menyuci pakaian dan akan menjemurnya di halaman rumah. Amir, anaknya yang terakhir berusia dua tahun, dibiarkan bermain di dalam ember bulat sambil menyikat selembar kain basah. Yang penting dia tidak mengganggu pekerjaannya. Wanita itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang menggemaskan. Cucian hari itu lumayan banyak, sehingga tali jemuran penuh dengan pakaian berjejer tergantung.

“Buk, Ibuk.” Terdengar seseorang memanggilnya ibu.

Dia menoleh ke sumber suara. Rupanya yang memanggilnya adalah Bagas, anaknya yang pertama yang berusia tiga belas tahun dan duduk di kelas 1 SMP. Kenapa dia cepat sekali pulang? Padahal, belum jam pulang sekolah. Begitulah pikir wanita yang berusia tiga puluh lima tahun itu.

Bagas yang memakai seragam putih dan biru tua melangkah menuju sebuah rumah. Dia membuka pintu pagar dari kayu yang tidak terkunci. Rumah mereka adalah tipe rumah setengah permanen yang dikelilingi pagar kayu setinggi satu meter.

“Heh, kok, cepat sekali pulangnya, Gas?” tanya Marni penasaran.

“Iya, Buk. Ibu guru suruh cepat pulang, katanya ada demo di jalanan. Jakarta sedang rusuh,” jawab Bagas. Dia berjongkok dekat adiknya.

“Ya, Tuhan, bagaimana dengan adik-adikmu di SD? Apa dipulangkan juga sama gurunya?” Marni mulai panik.

Anaknya masih ada tiga lagi yang bersekolah di SD. Buru-buru dia bereskan ember kosong bekas pakaian.

“Gas, jaga adikmu bentar, ya. Ibuk mau jemput Andi, Luna, dan Dea dulu.”

“Iya, Buk.”

Saat dia hendak mengganti baju karena daster yang dipakainya sudah basah ketika menyuci. Tiba-tiba, ketiga anaknya sudah tampak dari kejauhan. Syukurlah, mereka pulang juga. Marni melihatnya dari jendela kamar. Segera dia berlari keluar.

“Andi, Luna, Dea. Kalian disuruh pulang juga sama guru kalian, Nak?”

“Iya, Buk, tadi Pak Guru juga yang ngantarin sampek depan gapura. Terus dibilang langsung pulang ke rumah, ya, jangan main ke mana-mana karena keadaan sedang tidak aman.” Andi menjelaskan. Anak kedua Marni.

Marni tidak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya di luar sana, karena kesehariannya hanya di rumah saja. Televisi pun sedang rusak, sehingga tidak tahu tentang berita apapun. Sedikit yang dia tahu, saat itu Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi. Mengenai itu dia tahu dari Fauzi, suaminya. Karena perusahaan tempat suaminya bekerja sedang diambang kebangkrutan. Tentu saja suaminya dan pegawai lain merasa was-was, terlebih lagi sudah tiga bulan gaji para pegawai tertunda. Untungnya, Marni mempunyai perhiasan emas yang bisa dijual untuk menutupi kehidupan mereka sehari-hari.

“Ya, sudah, kalian masuk sana terus ganti baju. Ibuk mau mandikan Amir dulu,” ucap Marni seraya mengangkat Amir dari ember. Lalu, menggendong membawanya ke dalam untuk dimandikan.

Lihat selengkapnya