Hari itu juga Fauzi menghubungi temannya untuk mengambil barang-barang yang ada di rumahnya. Meski pria bertubuh tinggi dengan postur badan berisi itu malu karena dianggap suami takut istri, tetapi mau bagaimana lagi. Marni tidak akan mau berkerja sama soal yang haram.
“Kamu serius enggak mau barang-barang ini, Ji?” tanya pria bertubuh besar dengan perawakan wajah seram karena brewoknya.
Barang-barang itu semua sudah diletakkan di halaman rumah. Ada dua orang teman Fauzi yang datang untuk mengambil barang-barang itu. Satu lagi temannya bertubuh tambun. Mereka bukan rekan kerja Fauzi di perusahaan, melainkan teman nongkrong di warung kopi Haji Babe.
“Susah istri aku, Bi. Dia enggak bisa diajak kompromi soal beginian. Pertanyaannya panjang banget udah kayak kereta api. Pusing aku jawabnya,” keluh Fauzi pada kedua temannya itu.
“Syukur, istri aku enggak masalah waktu aku bawa pulang barang-barang itu ke rumah. Dia bahagia banget. Malah dibilangnya sering-sering gini, ya, Bang.” Pria brewok itu memperagakan ucapan istrinya.
“Istri si Robbi, mah, enak, terima langsung, kagak mubazir barang-barangnya. Lah, gue yang kagak punya istri begimane? Barang-barang itu numpuk di rumah gue. Gak tau mau gue bawa ke mana. Nah, sekarang mau ditumpuk lagi dengan barang-barang Lu, Ji.” Pria bertubuh tambun itu sudah pusing tidak tahu mau dibawa ke mana barang-barang milik Fauzi yang akan memenuhi rumahnya nanti.
“Makanya Lu kawin, Rojali. Biar Lu bisa berbagi kebahagiaan sama istri Lu.” Robbi menepuk pundak pria tambun itu yang bernama Rojali.
“Dikira nyari istri semudah ambil barang di toko orang,” ketus Rojali yang tersindir dengan ucapan Robbi.
“Sstttt!” Fauzi dan Robbi serempak memberikan kode dengan menempelkan telunjuk di bibir.
“Jadi, ini beneran enggak mau?” Robbi kembali bertanya untuk menyakinkan temannya itu.
Fauzi menghela napas dan mengangguk yakin.
Pria brewok itu mulai mengangkat barang-barang itu ke atas bak mobil pick up berwarna putih. Rojali juga mengangkat beras sekaligus dua karung. Sementara Fauzi hanya melihat barang-barang yang diangkut ke bak mobil itu dengan perasaan sia-sia. Sia-sia saja hasil kerjaannya hari itu.
Barang-barang sembako itu sudah berpindah tempat ke bak mobil Suzuki carry pick up milik Robbi. Kedua pria itu pamit. Setelah itu, mobil itu pun melaju menuju ke tempat di mana barang sembako itu akan menemukan si penerima baru.
Fauzi menutup pintu pagar. Kemudian, dia melangkah menuju rumah bercat kuning pucat, jenis rumah setengah permanen itu. Langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita berdiri di ambang pintu. Matanya tertuju pada Fauzi yang sudah berada di depan teras.
“Sejak kapan Marni berdiri di situ? Apa dia mendengar percakapan aku dengan Robbi dan Rojali tadi?” Fauzi bertanya-tanya pada dirinya sendiri di dalam hati.
Fauzi mengusap mukanya yang berkeringat. Dia berhenti di teras tepat di hadapan Marni, istrinya.