Fauzi tidak menjawab pertanyaan istrinya. Wanita yang mengenakan daster motif daun-daun itu masih berdiri di teras menunggu jawaban dari sang suami. Namun, pertanyaan itu digantung begitu saja oleh sang suami. Pria yang memakai kemeja berwarna biru muda dan celana kerja berbahan wol warna dongker itu langsung masuk ke dalam. Lalu, diikuti oleh Marni di belakangnya.
“Bang, jangan diam aja, dong. Ada apa sebenarnya. Kok pulang-pulang mukanya kusut gitu. Ada masalah di kantor?”
Marni begitu penasaran, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan suaminya. Fauzi melepaskan tas selempang hitam yang dipakainya. Diletakkannya tas itu di atas meja berbentuk persegi panjang yang di atasnya dilapisi kaca warna hitam. Pria itu duduk di kursi kayu dan menyandarkan tubuhnya. Dia memijit-mijit dahinya.
Marni yang masih berdiri di depan Fauzi semakin khawatir melihat kondisi suaminya. Sementara itu, Bagas mengintip dari balik pintu dapur.
“Bang, ini nasi gorengnya dihabisin nanti dimarah sama Ibuk, lho,” kata Luna yang melihat abangnya sedang menguping pembicaraan Fauzi dan Marni di ruang tamu.
“Ssttt!” Bagas menoleh ke arah adik perempuannya itu sambil memberi kode jangan berisik.
Bagas juga ingin tahu apa sebab bapaknya pulang kerja begitu cepat dan dalam keadaan tidak bersemangat seperti itu.
Marni duduk di samping suaminya. “Kamu sakit?” tanyanya. Dia memegang tangan suaminya.
“Bang, jangan buat Marni khawatir begini. Ada apa sebenarnya?” Untuk kesekian kalinya wanita dengan rambut diikat itu kembali bertanya pada sang suami.
Fauzi melihat ke arah Marni. Ditatapnya wajah sang istri begitu lekat. Dia berusaha mencari celah di mata itu untuk siap mendengarkan kabar buruk yang akan disampaikannya.
“Bang, ada apa?” suara Marni begitu lembut. Digenggamnya tangan Fauzi begitu erat.
Fauzi menarik napas dan mengembuskannya. Dia mengambil tas hitam selempang di atas meja, membukanya, dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih. Kemudian, amplop itu disodorkan ke Marni.
“Surat apa ini, Bang?” Marni menerima surat itu dengan raut wajah penuh kebingungan.
“Kamu baca aja sendiri, Mar.” Fauzi kembali memijit-mijit kepalanya.
Marni membuka amplop itu, mengeluarkan selembar kertas dari dalam. Dibacanya perlahan. Tiba-tiba tangannya gemetar membaca isi surat itu.
“Apa ini, Bang?” Marni seolah-olah tidak percaya dengan isinya.
“Ya, seperti yang kamu baca, Mar. Perusahaan tempat aku bekerja melakukan PHK besar-besaran karena perusahaan bangkrut, jadinya mengurangi jumlah karyawan. Dan aku salah satu karyawan yang terkena PHK.”