Selanjutnya Samuel menjelaskan idenya, “Kupikir saat ini kita menuruti saja kehendak orang tua untuk menikah. Setelah itu kita kan, tinggal di rumah sendiri. Sudah nggak usah berpura-pura lagi. Kita jalani hidup kita masing-masing. Bagaimana?”
Aileen mengerutkan kening. Ide bagus, cetus gadis itu dalam hati. Tapi mau sampai kapan bersandiwara seperti itu? Lalu bagaimana dengan James?
“Kita cukup menikah dua tahun saja. Setelah itu bercerai,” lanjut Samuel seperti memahami kerisauan hati lawan bicaranya. “Akan lebih baik kalau pernikahan kita dikaruniai seorang anak….”
“Hah?!” sergah si gadis terperanjat. “Dua tahun itu waktu yang nggak sebentar, Sam. Terus gimana cara kita punya anak?”
“Ya kamu pura-pura hamil. Terus kita adopsi anak,” jawab sang pemuda enteng.
“Gila! Nggak mungkin!”
“Kenapa nggak? Kamu pakai aja bantal untuk membuat perutmu kelihatan besar seperti orang hamil. Beres, kan?”
“Kalau mamaku mau menyentuh perutku gimana?” tanya Aileen panik.
Samuel memandanginya sambil tersenyum. “Kalian kaum wanita biasanya kan pintar berstrategi. Kamu orang yang paling mengenal karakter mamamu. Pasti bisa menemukan cara agar dia tak sampai menyentuh perutmu. Apalagi waktu itu kalian kan sudah tidak tinggal seatap.”
Si gadis menggigit bibirnya. Perasaannya kalut sekali. Masa dia sampai hati membohongi ibunya sendiri? Tapi...tapi…Mama juga tega memintaku menjalani perjodohan yang tak kuinginkan ini, batinnya membela diri.
Aileen berusaha menguatkan hatinya. Dia lalu bertanya pada Samuel, “Terus rencana selanjutnya bagaimana? Sesudah bayi itu lahir, apa yang akan kita lakukan?”
“Tunggu sampai beberapa bulan,” sahut pemuda itu tangkas. “Lalu kita berdua ribut-ribut. Kamu menemukanku berselingkuh. Karena kecewa berat, kamu menggugat cerai dan tak mau mengurus anak kita. Akhirnya perkawinan berakhir dan hak asuh anak jatuh ke tanganku. Selesai!”
Si gadis terbelalak tak percaya. “Anak itu akan tetap kau asuh?” tanyanya meminta penjelasan.