Pernyataan Samuel yang terdengar penuh penyesalan itu membuat hati gadis di hadapannya terharu. Dia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Justru aku yang harus berterimakasih padamu, Sam. Kamu sudah berusaha semaksimal mungkin memenuhi permintaanku. Rumah ini meskipun terdiri dari dua lantai, tapi ukurannya tidak besar. Masih bisalah kita tangani berdua. Iya, nggak?”
Hati Samuel bagaikan disiram air dingin mendengar perkataan calon istrinya itu. Dia merasa bersyukur gadis itu menghargai usahanya mendapatkan rumah ini. Pemuda itu tidak menceritakan bahwa ibunya sempat merasa tidak setuju dengan permintaannya untuk tinggal di rumah kecil setelah menikah. Untunglah Ruben dengan bijaksana bersedia membantu meyakinkan Tina, istrinya, agar menyerahkan keputusan di tangan anak dan calon menantu mereka.
“Yang penting Samuel dan Aileen berdua sudah sepakat bersama-sama mengarungi kehidupan rumah tangga, Tin,” kata ayah kandung Samuel membujuk sang istri. “Perkara mau tinggal di rumah yang bagaimana biarlah mereka yang mengambil keputusan sendiri. Kan mereka berdua yang menjalani perkawinan. Kita orang tua cuma memberikan support saja dari belakang….”
Tina akhirnya mengalah. “Ya sudahlah, kalau begitu,” sahutnya pasrah. Lalu dia menatap tajam pada putra tunggalnya. “Tapi kalian jangan nego soal pesta pernikahannya ya, Sam. Kamu adalah pewaris keluarga Manasye satu-satunya. Pernikahan yang cuma terjadi sekali seumur hidup itu harus dirayakan secara megah dan meriah. Itu wajib sifatnya. Nggak bisa ditawar-tawar!”
Samuel mengangguk mengiyakan. Dia berpikir Aileen takkan merasa keberatan dengan hal itu. Toh, keinginannya tinggal di rumah yang tidak besar sudah terkabul. Dan benar saja. Ketika pemuda itu menyatakan maksud ibunya itu pada gadis itu, Aileen sama sekali tak mempermasalahkannya.
Toh, pesta pernikahan itu cuma berlangsung satu hari saja, pikirnya simpel. Kalaupun persiapannya lama, yaaa…sudahlah. Aku tidak boleh egois. Yang penting permintaanku yang paling krusial sudah disanggupi oleh papa dan mama Samuel.
“Oya, Leen,” kata Samuel kemudian. “Papa dan Mama juga bermaksud menghadiahi kita bulan madu keliling Eropa selama satu bulan….”
Heh! Gadis itu terbelalak mendengar penuturan sang pemuda. Keliling Eropa satu bulan?! jeritnya dalam hati. Bagaimana mungkin James mengizinkannya? Tiga puluh hari penuh berduaan saja dengan laki-laki lain di luar negeri! Wah, wah, wah….
Ekspresi wajah Aileen yang suram langsung membuat Samuel mengerti betapa calon istrinya itu merasa keberatan dengan hadiah bulan madu dari orang tuanya tersebut.