Setelah urusan rumah dan interior beres, Samuel mengungkapkan kepada ayah dan ibunya bahwa Aileen sudah telanjur terikat kontrak untuk proyek penerjemahan novel online selama delapan bulan ke depan sehingga terpaksa tidak bisa menjalani bulan madu keliling Eropa setelah menikah.
Saat itu sang pemuda sedang bercengkerama dengan kedua orang tuanya di ruang keluarga rumah mereka. Tina, sang ibu, langsung bangkit berdiri dan berkata dengan nada suara tidak senang, “Calon istrimu itu kok susah banget diajak menikmati hidup, ya? Mau dibelikan rumah besar malah ditolak. Terus dikasih hadiah paket honeymoon keliling Eropa juga nggak diterima. Mama jadi bingung. Kok ada perempuan kayak gitu.”
Ditolehnya sang suami yang masih duduk tenang di atas sofa. Ditegurnya pasangan hidup yang telah menemaninya selama hampir tiga puluh tahun itu, “Kamu sih, Mas. Cari jodoh buat anak kita kok sembarangan. Kan lebih baik dari lingkungan pertemanan kita saja. Jadi seleranya sama dan nggak bikin masalah seperti sekarang!”
Ruben menatapnya penuh arti. “Kamu kan tahu, Tin. Aku nggak pernah suka dengan teman-teman sosialitamu yang hobi pamer, kasak-kusuk, dan menghabiskan uang suami untuk berfoya-foya nggak jelas. Karena itu aku ingin menantu kita nanti berbeda. Kulihat Aileen itu gadis yang baik, sederhana, dan mandiri. Dia bisa memberikan pengaruh yang positif bagi anak kita yang pemalu ini,” terang pria berkepala botak itu panjang lebar.
Sang istri mendengus sebal. Wajah cantiknya cemberut menandakan ketidakpuasannya terhadap perkataan suaminya tadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kesepakatan sudah telanjur dibuat oleh suaminya dengan Harris Benyamin, ayah kandung Aileen. Samuel juga tidak keberatan dijodohkan dengan gadis itu. Tina kalah suara.
“Ya sudah. Terserah kalau begitu,” kata wanita setengah baya yang wajahnya masih mulus terawat itu mengalah. “Kebetulan paket honeymoon itu belum Mama bayar. Jadi masih bisa dibatalkan. Kapanpun kalian berubah pikiran dan bermaksud pergi bulan madu, bisa beritahu Mama. Nanti akan Mama pilihkan paket yang terbaik.”
Ruben menatap istrinya sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa sikap wanita itu terlalu diktator. “Sudahlah, Tin. Biar nanti mereka sendiri yang memilih mau pergi bulan madu ke mana. Kan mereka berdua yang menjalaninya, bukan kita….”
“Kamu sendiri juga secara sepihak menjodohkan anakmu dengan gadis tak dikenal!” protes sang istri tak terima. “Tanpa bicara denganku terlebih dahulu. Apalagi dengan Sam yang akan menjalani kehidupan perkawinan itu. Sudahlah. Soal rumah dan masalah lainnya aku boleh nggak urusin. Tapi ada tiga hal yang aku harus campur tangan dan tidak boleh diganggu gugat!”
Ruben diam saja menyaksikan kegusaran istrinya. Dia sudah biasa menghadapi hal itu sekian puluh tahun. Sementara Samuel yang pada dasarnya mempunyai hati yang sabar menatap ibunya was-was. “Apa tiga hal itu, Ma?” tanyanya penasaran sekaligus kuatir.