Ruben merangkul istrinya. Pria setengah baya itu menghela napas panjang. “Bukankah ini siklus yang akan dilalui setiap orang dalam hidup ini, Sayang? Menjadi anak, suami atau istri, orang tua, lalu kakek-nenek. Kita berdua sudah melalui ketiga tahap awal itu. Tinggal tahap yang terakhir, yaitu menjadi kakek dan nenek. Sudahlah, jangan bersedih. Masih ada aku yang akan selalu menemanimu di rumah ini.”
Tina mengangguk. Direbahkannya kepalanya pada dada suaminya yang bidang. Ruben membelai-belai punggung wanita itu mesra. Pasangan suami-istri romantis itu tak menyadari bahwa putra semata wayang mereka tengah memperhatikan dari void lantai dua. Ekspresi wajah pemuda itu tampak terharu menyaksikan kemesraan orang tuanya yang tak lekang oleh waktu.
Kapan aku bisa merasakan kehangatan seperti itu? batinnya pedih. Terbayang olehnya wajah Aileen, gadis yang tak lama lagi akan menjadi pendamping hidupnya.
“Ah, jangan konyol, Samuel Manasye!” cetusnya pada dirinya sendiri. “Perkawinan kalian nanti cuma pura-pura. Ingat itu. Hanya sandiwara belaka!”
Lalu dengan gontai pemuda itu melanjutkan langkah kakinya menuju ke kamar tidurnya.
***
Esok siangnya pada waktu yang telah ditentukan, Samuel dan Aileen tiba di bridal showroom pilihan Tina. Ibu kandung Samuel itu sudah menunggu di tempat itu. Sedangkan Ernie, ibu Aileen datang bersama putri dan calon menantunya.
“Halo, Mbak Tina,” sapa istri Harris Benyamin itu menyapa calon besannya. “Sudah lama menunggu? Maaf, kami terlambat.”
“Oh, nggak terlambat kok, Jeng Ernie,” balas Tina ramah. “Tepat jam dua siang. Sesuai waktu yang saya katakan pada Sam kemarin. Saya tipe orang yang suka datang lebih awal kalau janjian. Motto saya lebih baik menunggu daripada ditunggu.”
Ernie manggut-manggut saja mengiyakan. Entah ucapan calon besannya itu memang jujur atau sekadar bermaksud menyindirnya. Wanita itu memutuskan untuk tak menaruhnya dalam hati. Dia tahu bahwa nasib suaminya tergantung pada kemurahan hati suami Tina. Jadi mau tak mau dia dan Aileen sebisanya menurut saja pada kehendak ibu kandung Samuel itu. Mereka tak boleh membuat ulah dan membuat segala sesuatunya menjadi berantakan.
“Selamat siang, Tante Tina,” ujar Aileen giliran menyapa. “Apakah Tante sudah menemukan gaun-gaun yang pas buat saya?”
Calon ibu mertuanya itu mengangguk mantap. Dia lalu meminta asisten desainer untuk menunjukkan gaun-gaun pilihannya pada sang calon menantu.