Marriagephobia

Noura Publishing
Chapter #1

1 Faranisa Pratista

Penulis skenario terbaik adalah Tuhan.

Penulis best seller mana pun tak akan mampu menandingi alur kehidupan yang telah Dia atur sedemikian rupa.

Alarm ponselku berbunyi nyaring. Dengan mata yang masih setengah terpejam, tanganku meraba-raba sisi tempat tidur yang kosong, mencari ponsel asal Cina yang kreditnya baru akan lunas dua bulan lagi itu.

Tap!

Kumatikan nada berisik alarm yang memecah kehe­ningan pagi, lalu duduk di atas ranjang dengan rambut acak-acakan, terlalu malas untuk bersiap berangkat kerja. Badanku serasa remuk redam setelah lembur semalaman. Si Pak Tua cerewet pasti akan mengomel lagi jika pe­ker­ja­anku belum tergeletak rapi di atas mejanya saat dia datang.

Setengah jam kemudian, aku keluar dari kamar mandi dengan wajah dan tubuh yang lumayan segar. Berpakaian kantor seperti biasa: kemeja dan celana bahan. Aku lebih nyaman mengenakan celana daripada rok, lebih suka flat shoes daripada high heels, serta lebih suka mengikat satu rambutku daripada menggelungnya seperti gaya wanita ka­rier yang serius dan elegan. Selain tidak efisien, ketiga hal tersebut tidak kusukai karena terlalu memperlihatkan sisi feminin. Terlalu manis. Apalagi, aku sering lembur dan pulang malam. Kendaraan umum dan transportasi online sudah menjadi langgananku sehari-hari, jadi berpakaian senyaman mungkin adalah hal yang paling penting.

Aku menutup pintu kamar kosku yang berukuran em­pat kali lima meter itu, kemudian memasukkan kuncinya ke tas selempang yang kusampirkan di bahu kiri.

Kamar kosku tidak bisa dibilang besar, tetapi tidak ter­lalu sempit juga. Fasilitas kamar mandi dan dapur su­dah menjadi satu di dalamnya. Aku memilihnya karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja. Dengan kendaraan umum hanya memakan waktu lima be­­las menit saja.

Aku tiba di kantor sepuluh menit sebelum jam ker­ja dimulai, puncak dari arus kedatangan karyawan. Bukan pemandangan asing, sebenarnya. Terutama bagian berde­sakan di lift. Apakah aku bosan? Ya. Lelah? Apalagi. Na­mun, demi gaji yang lumayan, semua itu bukan perkara besar.

Sesungguhnya, aku tidak perlu buru-buru seperti ini seandainya laporanku telah tergeletak manis di meja Bos. Sayangnya, aku memilih untuk lembur di rumah alih-alih menyelesaikan semuanya di kantor, mengingat Mas Adi dan Mbak Tari yang biasanya sering lembur bersamaku, tidak memiliki beban kerja yang harus segera diselesai­kan, jadi mereka lebih memilih untuk menghabiskan wak­tu bersama keluarga masing-masing di rumah.

Ya, hampir semua rekan kerjaku di kantor sudah tidak available lagi, alias sold out! Rata-rata sudah berkeluarga dan memiliki anak. Usia para karyawan di sini memang re­latif sudah matang karena staf yang diinginkan memang mereka yang telah memiliki pengalaman kerja. Setidaknya tiga tahun, terhitung setelah lulus bangku kuliah, bukan SMA. Minimal mereka yang sudah berusia dua puluh li­malah yang diterima bekerja di perusahaan yang bergerak dalam bidang elektronik ini.

Aku bisa dibilang anomali. Jangankan menikah, men­jalin hubungan saja aku takut. Keterikatan dengan sese­orang, itulah yang membuatku mundur jauh-jauh meski banyak juga yang pernah mendekatiku. Pada umurku yang sudah menginjak dua puluh tujuh, aku merasa terlalu nya­man dengan kesendirian yang kumiliki.

“Kok Pak Jackie jadi murah senyum, ya, hari ini? Apa jangan-jangan sudah masuk hari keempat puluh, ya?”

Bisik-bisik wanita dalam lift yang kutumpangi sam­pai juga ke telingaku. Mengapa nama bos tua cerewet itu disebut-sebut? Meski itu bukan topik langka juga di ge­dung ini.

“Hus! Ya, kali, mau mati. Lo kalo benci difilter dikit ke­napa? Lagian, bukan cuma lo doang yang kena senyum maut dia, gue juga!” Teman si wanita yang tadi berbisik membalas dengan nada yang tak kalah pelannya. Mung­kin takut ada yang menguping, seperti yang kulakukan sekarang.

Tunggu …, Pak Jackie jadi ramah? Sepertinya ada yang salah. Namun, jika dua wanita di sampingku ini sudah melihat pria tua itu, berarti dia sudah datang, ‘kan? Astaga! Mampus! Matilah kau, Nisa!

Lift berdenting dan membuka di lantai yang kutuju. Aku langsung bergegas. Si Pak Tua biasanya selalu datang tepat waktu, tetapi biasanya tidak pernah lebih dari lima menit sebelum jadwal. Ini di luar prediksi.

Aku sampai di depan ruangan sang pemilik peru­sahaan. Napasku terengah-engah karena berlari dari lift yang terletak paling ujung hingga ke sini.

Lihat selengkapnya