Tahu apa hal membosankan yang pernah terjadi
di dalam hidupku yang tak kalah membosankan ini?
Bertemu dirimu.
Matahari kembali naik ke singgasananya, seolah mengumumkan kepada seisi jagat raya bahwa ialah sang raja siang. Aku melangkah gontai di sepanjang gang, menuju jalan utama untuk menunggu angkutan kota yang akan membawaku ke kantor.
Aku sangat malas dan tidak bersemangat pagi ini. Penyambutan pemilik baru perusahaan tempatku bekerja mungkin akan menyenangkan bagi karyawan lain. Pekerjaan akan teralihkan selama beberapa jam, belum lagi perombakan struktur perusahaan. Dan, dari apa yang kucuri dengar, sang pemilik baru lebih kejam daripada Pak Jackie.
Sangat disayangkan bahwa Pak Jackie rela menjual hampir seluruh sahamnya hingga dia tidak lagi memiliki hak penuh atas perusahaan—yah, usianya yang semakin tua memang sudah mengharuskannya untuk pensiun jika dia hanya pegawai biasa. Anak Pak Jackie sendiri tidak suka mengelola perusahaan elektronik semacam ini. Bisnis resort di beberapa pulau yang tersebar di seluruh Indonesia mungkin akan menjadi pilihan baru. Dan, itu memang sudah menjadi passion anak Pak Jackie yang menggemari traveling. Daripada dipaksakan dan perusahaan malah berakhir gulung tikar.
Aku turun dari angkot dan membayar ongkos, kemudian langsung memelesat menuju gedung pencakar langit yang berjarak beberapa meter dari sana.
Suasana lobi tampak masih sepi saat aku datang. Hanya ada beberapa karyawan yang berlalu lalang dan tampak terburu-buru. Apa aku terlalu pagi? Namun, arloji hitam putih yang melingkari pergelangan tangan kiriku memperlihatkan bahwa tinggal lima menit lagi sebelum pengambilan absensi berakhir. Lalu, mengapa kantor masih sesepi ini? Biasanya, ini jadwal pegawai berdesak-desakan di dalam lift.
Dengan perasaan gusar, aku pun memasuki lift. Entah mengapa, perasaanku jadi tak enak.
Di lift itu, aku melihat keberadaan salah satu petugas kebersihan. Kulemparkan senyum canggung, yang dibalas senyum ramah oleh wanita paruh baya itu.
“Kok masih sepi ya, Bu? Tumben.” Aku mengajaknya mengobrol. Dia pasti lebih tahu karena jadwal petugas kebersihan jauh lebih awal daripada para pegawai lainnya. Pukul setengah enam pagi mereka sudah harus berada di sini.
“Lho? Mbak nggak tahu? Pak Danendra kan lagi keliling ke setiap divisi kantor.”
Rasanya seperti tersambar petir. Kakiku mendadak lemas.
“Ibu nggak bercanda?”
“Buat apa, Mbak, saya bercanda? Kan kemarin sudah diumumkan kalau seluruh karyawan diharapkan datang tiga puluh menit lebih awal daripada biasa. Soalnya menurut bos yang baru, masuk pukul setengah delapan itu kesiangan.”
Sial! Mengapa pengumuman itu tidak sampai ke telingaku? Dan mengapa rekanku yang lain tidak memberi tahu? Aku benar-benar ingin menangis sekarang.
Saat lift berdenting membuka di lantai tujuh, aku buru-buru pamit kepada ibu pekerja kebersihan itu dan berlari secepat yang kubisa ke ruanganku. Sialnya, Divisi Keuangan berada di ujung lorong terjauh.
Jika si Bos Gila memulai pengecekan dari Divisi General Affair, maka aku bisa dikatakan luar biasa terlambat karena menurut urutan struktur organisasi perusahaan, divisiku berada pada urutan ketiga setelah General Affair dan Personalia.
Kupercepat lariku. Meski sadar nasi sudah menjadi bubur, aku tetap berusaha. Aku yakin si Bos Gila sudah sampai di ruangan Divisi R&D atau bahkan Divisi Produksi—aku tak peduli. Mengingat ini sudah hampir pukul setengah delapan, artinya pemeriksaan langsung oleh si Bos Gila sudah dimulai sejak dua puluh lima menit yang lalu!
Setidaknya, jika divisiku sudah diperiksa, aku tidak akan didamprat di depan rekanku yang lain. Paling hanya Mas Rio yang akan memarahiku karena kurang disiplin.
Sesampainya di ruangan Divisi Keuangan, tubuhku mendadak kaku. Dari luar, aku bisa melihat dengan jelas atasan baru kami itu memarahi Mas Rio selaku ketua tim.
Mas Rio menunduk, sesekali mengangkat kepala saat menjawab pertanyaan Pak Danendra. Ketika dia mendongak untuk kesekian kalinya, tanpa sengaja kami bersitatap. Dari balik dinding yang terbuat dari delapan puluh persen kaca bening dan dua puluh persen kaca buram ini, aku berani bersumpah tatapan Mas Rio adalah campuran keterkejutan dan kemarahan yang siap ditumpahkan kepadaku yang berdiri di luar ruangan dengan wajah tanpa dosa.
Tak ada pilihan. Masuk atau semakin kena omelan.
“Maaf, Pak, saya terlambat.” Aku menunduk dalam-dalam di tengah suasana yang mendadak hening menyambut kehadiranku.
“Ngurusin satu anggota seperti ini saja kamu tidak bisa? Saya bukan hanya bayar kamu buat ngurusin hasil kerja anggota kamu saja, Rio. Kedisiplinan anggota kamu juga harus kamu perhatikan! Gimana perusahaan ini mau berkembang kalau karyawan saja datang jauh setelah bosnya?”
Telingaku berdenging. Ocehan Pak Danendra benar-benar menusuk. Karyawan badung sepertiku memang sudah biasa menerima omelan dari atasan, tetapi teman-temanku yang lain? Kasihan mereka. Untung saja kinerjaku selama ini berhasil membuatku mempertahankan posisi dan tidak dikucilkan yang lain.
“Dan kamu!”
Aku mendongak, memastikan siapa “kamu” yang dimaksud. Dan, benar saja, itu aku.
“Ya, Pak?”
“Kamu sadar sudah berapa menit kamu telat?”
“Dua puluh lima menit, Pak,” tukasku tanpa berani menatap matanya yang menyorot jengkel itu. Terlalu takut kena bentak sewaktu-waktu, berbekal pengalamanku selama memiliki atasan seperti Pak Jackie.
“Kamu tahu, ‘kan, saya pemilik baru tempat kamu cari nafkah?” tanyanya pedas.
“Iya, Pak, saya tahu.”