Dua hal yang paling tidak kusukai di dunia.
Lembur. Dan, kamu.
Baru satu minggu Danendra mengambil alih perusahaan, rasanya sudah seperti bekerja rodi selama bertahun-tahun. Bedanya hanya sekarang dibayar, dulu tidak. Hampir setiap hari aku lembur. Padahal, selama masa kepemimpinan Pak Jackie, jadwal lemburku bisa dihitung jari. Paling hanya saat penjualan mengalami peningkatan, ataupun sebaliknya.
Seperti sekarang, sudah hampir enam belas jam aku duduk dengan mata yang terus fokus kepada layar komputer. Jam makan siang pun hanya kugunakan tiga puluh menit, dari enam puluh menit waktu yang diberikan. Dan, setelah itu, aku kembali berkutat dengan tumpukan pekerjaan hingga pukul sebelas malam.
Dan, entah mengapa, hampir setiap malam pula bosku itu ikut lembur bersamaku. Ruangannya yang dulu terletak di lantai sepuluh, kini pindah ke lantai tujuh, tepat di mana ruangan Divisi Keuangan berada.
Baik dia maupun Mas Rio melarangku membawa pekerjaan pulang. Alasan mereka klasik, tetapi berbeda. Mas Rio memintaku untuk menurut saja jika tidak ingin menerima amplop kosong pada akhir bulan, sedangkan Danendra beralasan bekerja di rumah tidaklah efektif, terutama karena dia ingin langsung memeriksa hasil kerjaku dan menyuruhku memperbaikinya saat itu juga jika ada yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Masalahnya, bukankah seharusnya yang bertanggung jawab atas divisi ini adalah Mas Rio? Aku hanya anggota tim yang bertugas menyerahkan laporan kepada Mas Rio, yang kemudian mengecek dan menyerahkannya kepada Danendra. Ada urutan yang harus diikuti, bukan?
Jujur saja, ini terasa tidak adil. Semua rekan satu timku diperbolehkan membawa pulang pekerjaan mereka. Bahkan, setelah negosiasi yang sangat alot terjadi, di mana aku mengutarakan alasan-alasan yang masuk akal agar bisa bekerja dengan jadwal yang normal, kedua orang kejam itu tidak tergerak hatinya sama sekali.
Aku lelah. Namun, bagaimanapun, inilah caraku untuk bertahan hidup. Aku tidak mungkin pulang ke kota kelahiran ibuku dalam keadaan menganggur setelah di-PHK.
“Satu halaman lagi …,” aku bergumam lirih. Mataku terasa berat. Lingkaran hitam di bawah mataku tak pernah memudar, membuatku tampak seperti zombi. Mungkin bagus juga jika itu benar-benar terjadi. Aku bisa menyantap si Danendra. Itu sebelum aku teringat bahwa zombi hanya memakan otak, sedangkan atasanku itu sepertinya tidak punya otak. Astaga, aku mulai melantur.
Tanda titik pada ujung kalimat yang kuketik mengakhiri semuanya. Aku membereskan barang-barangku dan memasukkannya ke sling bag.
Setelah menyimpan file dan mematikan komputer, aku berdiri dan mengangkat kedua tanganku ke atas seraya menguap. Lelah. Hanya tersisa waktu sekitar lima jam lagi untukku beristirahat sebelum kembali ke sini untuk mulai bekerja lagi. Membayangkannya saja sudah membuatku lemas. Tinggal menunggu waktu saja hingga aku tumbang karena kelelahan.
Ketika membuka pintu, aku dikejutkan dengan kehadiran seorang pria tinggi yang berdiri tepat di hadapanku. Hampir saja aku menabraknya jika tidak cepat-cepat melangkah mundur.
“Kok Bapak belum pulang? Lembur lagi kayak saya?” aku bertanya bingung. Sangat mengerikan sebenarnya, mengingat ini hampir tengah malam dan dia berdiri di sana, mengejutkanku. Ditambah sorot mata datarnya yang menatap lurus ke arahku.
“Iya.”
Jawaban singkat itu kubalas dengan anggukan.
“Duluan, ya, Pak.” Aku menutup pintu ruangan dengan sedikit kesusahan. Pria itu tidak berinisiatif sedikit pun untuk mundur meski hanya sejengkal, jadi aku nyaris terimpit di antara pintu dan tubuhnya.
Aku beringsut dengan tubuh menempel di dinding, ingin segera beranjak dari lorong itu. Hampir berhasil, jika saja dia tidak kembali berbicara kepadaku.
“Kamu pulang naik apa?”