Married by Magic

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #4

Insecure

Diar menatap tajam laki-laki yang sok sibuk di depan komputer. Benar-benar menyebalkan!


Dia manusia apa bukan, sih? Kenapa makhluk seperti dia harus tinggal di bumi? Lagaknya. Ya ampun!  Diar membatin kesal, masih belum menerima kejadian tadi.


Bayangkan, Diar baru kali pertama ke kampus USB, tidak tahu jalan, ditambah lagi tidak memliki paket internet untuk searching lokasi kampus, lalu bertanya pada orang yang salah. Padahal menurut peribahasa, malu bertanya sesaat di jalan. Dan, Diar sudah bertanya baik-baik kepada orang yang ditemuinya di jalan supaya tidak tersesat tapi justru orang yang ditanya malah memberi petunjuk yang menyesatkan. Sepertinya peribahasa itu perlu direvisi. 


Harusnya begini : Bertanya di jalan, menyesatkan!


Meski dengan emosi jiwa, Diar tetap mengikuti petunjuk laki-laki bernama Daffa itu. Dia menjalankan motornya. Lurus, ada pertigaan, belok kiri. Sampai di sini oke. 


Sembari motor melaju, Diar mengedarkan pandang ke kanan dan ke kiri. Tetapi tidak ada satupun petunjuk mengenai keberadaan lokasi kampus. Hanya banner promosi universitas yang terpasang di sepanjang jalan. Hingga sampai dipertigaan berikutnya dia tidak menemukan kampus USB. Diar baru sadar ketika tepat di depan mata adalah jalan raya yang sering dilaluinya.


Beruntung, Diar bertemu dengan penjual pentol depan gang yang memberi informasi yang tepat. Petunjuk yang benar adalah lurus, belok kiri, setelah 200 meter, sebelah kanan ada gapura warna merah. Masuk. Lokasi kampus USB berada di gang sempit!


Kalau ingat kejadian itu, rasanya Diar ingin salto. Berantem dah, sekalian.


Tangan Cindy mengelus pundak Diar seolah tahu apa yang tengah dirasakan temannya itu. "Sabar," ucapnya pelan.


Diar menghela napas panjang. Lalu mengelus dada, "Sabar... Sabar...."


Sementara itu, merasa diperhatikan, Daffa melirik kedua tamunya. Benar, perempuan berjilbab cokelat itu tengah menatapnya penuh ekspresi. 


Ada apa dengan perempuan itu? Mengapa dia menatapnya seperti itu seolah menunjukan ketidaksukaannya. Daffa bertanya pada diri sendiri.


Pandangan keduanya bertemu. Setelah diperhatikan dengan saksama, ada yang berbeda dari sosok perempuan yang memiliki kelopak mata indah itu. Entah apa. Daffa mengulum senyum.


Diar, dengan terpaksa membalas senyum Daffa meski hatinya masih menyimpan kekesalan. Namun, tidak dapat dipungkiri, laki-laki yang membuatnya kesal itu menyimpan misteri dibalik sikapnya yang dingin dan cuek. Ditambah menyebalkan, jangan lupa.


Tak ingin suasana menjadi beku, Cindy berinisiatif untuk membuka obrolan. "Mas Daffa sudah lama ikut Pak Soebagjo?" tanyanya.


"Setahunan." Daffa menjawab singkat dengan nada datar.


Jemari Daffa masih aktif pada papan ketik. Dia bahkan tidak melihat wajah lawan bicaranya. Matanya tertuju pada layar monitor. Sesekali tangan kanannya menyentuh mouse. Memindahkan kusor ke bagian jendela lain. 


Selesai. tugas PPT yang diminta Doktor Soebagjo siap dikirim. Daffa membuka pesan wa-nya yang sudah dihubungkan ke komputer.


"Di sini sambil kuliah atau sudah lulus?"


"Masih kuliah," sembari menjawab pertanyaan Cindy, tangan dan mata Daffa tetap bekerja. 


Daffa membuka lampiran pada pesan wa Doktor Soebagjo yang terbuka. Setelah dilampirkan, dia mengklik tombol enter.


Terkirim. Tugas keduanya selesai. Daffa bernapas lega. Dia kemudian meregangkan otot jemarinya yang terasa kaku. Lalu mengatur posisi duduknya.


Cindy meraih air mineralnya di meja lalu meminumnya. Benar apa kata Diar, laki-laki yang diajak berbicara itu kaku sekali seperti robot. Butuh kesabaran ektra.


Diar menepuk-nepuk pundak Cindy sembari tersenyum. Cindy memahami isyarat yang diberikan teman yang dikenalnya cukup lama itu.

Lihat selengkapnya