Married by Magic

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #6

Syuting Promo

Syuting untuk promosi pondok Marwah Shalakhi dijadwalkan pukul 08.00 di kompleks Yayasan Purna Bangsa. Kata Ustadz Ali, setengah jam sebelum syuting akan dilakukan jiar terlebih dahulu. 


Sekitar pukul 07.10, Diar sudah sampai di lokasi. Dia sengaja datang lebih awal karena dalam kamusnya, tidak ada kata terlambat. Ketika di Kampung Inggris dulu, Diar adalah salah satu mentor yang paling disiplin dan tepat waktu.


Diar mendengus kesal di parkiran usai membaca pesan wa dari ustadz Ali.


"Miss Diar kalau sudah sampai di lokasi, tunggu saja di kantor yayasan," pesan Ustadz Ali.


Jam sudah menunjukkan pukul 7.30 tetapi belum ada yang datang. Baik ustadz Ali maupun yang terlibat dalam kegiatan syuting hari ini. Sementara kantor yayasan masih tutup. 


Diar seperti warga asing yang nyasar di tempat itu. Tak ada satupun orang yang dikenalnya di situ kecuali Pak Soebagjo dan rumahnya 200 meter dari tempatnya berdiri. Tidak mungkin dia menemui Pak Soebagjo di rumahnya. Ngapain juga.


Daffa, bukankah kata Ustadz Ali, dia tinggal di mess? Diar teringat pria yang menyebalkan itu. "Orang itu sedang apa, sih? Jam segini kantor belum dibuka!" gerutunya.


Kemarin, Ustadz Ali mengajaknya berkeliling di lokasi gedung yang nantinya dipakai untuk pondok. 


Karena kesal, Diar memilih duduk di gasebo yang tak jauh dari tempat parkir sembari bermain game. Hingga waktu berlalu, tak tampak tanda-tanda kemunculan ustadz Ali atau kru kameramen. 


"Ini sudah jam delapan lebih sepuluh menit, tapi masih belum ada yang datang? Keterlaluan!" Diar mengumpat.


Seandainya ada Cindy, mungkin dia tidak sekesal ini. Ada teman yang bisa diajak ngobrol. Setidaknya dia tidak sendirian seperti orang hilang. Semalam, Cindy menginformasikan kalau hari ini dia tidak bisa ikut syuting karena ibunya masuk rumah sakit.


Bosan duduk di gasebo, Diar menuju kantin, bermaksud membeli minuman. Sesaat pandangannya teralihkan pada sosok yang berada di balkon lantai dua salah satu bangunan baru. Mess putra!


Diar memicingkan mata, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Itu Daffa. Ampun. Jam segini belum ngapa-ngapain? Ya Allah...


Setelah membayar minumannya, Diar menuju mess yang bersebelahan dengan gedung asrama putra.


"Mas Daffa.. Mas daffa...," panggil Diar dari pelataran mess dengan suara yang cukup keras.


Daffa, yang sedang sibuk mengetik, terusik oleh suara seseorang yang memanggilnya.


Daffa menengok ke bawah. "Ya, Miss. Ada apa?"


"Boleh minta tolong kantor yayasannya dibuka. Mau ada syuting buat promosi pondok," pinta Diar berusaha bersikap lembut meski hatinya berontak. Jujur saja, kalau misal yang dihadapi itu anak didiknya, sudah diomeli.


"Ya sebentar." Daffa mengeraskan suaranya. Jengkel. Dia paling tidak suka saat fokus nulis ada yang mengganggu.


Dengan malas, dia berjalan gontai mengambil kunci di dalam kamar. Lalu keluar menuju tangga di ujung kamar sebelah. 


Dengan kaos oblong dan celana pendek selutut, Daffa menuruni anak tangga. Sampai di lantai bawah dia bertemu Diar yang menunggunya.


Melihat penampilannya, pasti nih orang belum mandi. MasyaAllah. Pemalas! Diar mengumpat dalam hati. 


"Ini buka aja..." Daffa menyerahkan kunci pada Diar tapi langsung ditolaknya.


"Mas saja yang buka. Masa aku?"


"Aku belum mandi." Daffa memutar bola mata. Agak kesal pagi-pagi sudah direcoki.a


"Gak etis kalau aku yang buka. Aku bukan siapa-siapa di sini."


"Gak apa-apa, nanti kamu juga tinggal di sini kan? Anggap saja kantor sendiri." Daffa berusaha meyakinkan Diar.


"Memangnya Mas gak ke kantor?" tanya Diar.

Lihat selengkapnya