Married by Magic

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #9

Selamat Ulang Tahun, Ibu...

Usai salat Dzuhur, Daffa bergegas ke luar masjid, menghindari Doktor Soebagjo yang suka merecoki dirinya.


Daffa memicingkan mata saat melihat Diar berjalan menuju masjid dengan bersungut-sungut.


Ada apa dengan cewek itu? Apa mungkin masih marah padanya karena dibiarkan pulang sendiri sehabis makan siang? Daffa tidak enak hati. Rasa bersalah kini terselip di hatinya. Ingin minta maaf tapi gengsi.


Diar berjalan melewati Daffa seolah sedang melewati patung. Mulut Daffa menganga hendak berucap namun diurungkan karena dicuekin. Ah sudahlah. Sepertinya Diar benar-benar marah. Cewek kalau sedang marah memang begitu. Biarkan saja. Dia akan melunak kalau amarahnya reda.


Daffa menghela napas panjang. Dia berjalan menuju kantor. Teringat ada sesuatu yang harus dilakukan.


Diar, sengaja berpura-pura bersikap sedingin es, berpuas hati melihat ekpresi Daffa. Syukurin. Memang enak dicuekin?


***


Mumpung tidak ada orang, Daffa mengambil sesuatu yang ada di dalam jok motor. Red velvet cake berukuran sedang yang dibelinya di toko kue tadi. Dia membawa kue tersebut ke tempat sepi, di mana tak ada satupun orang yang melihat.


Daffa memilih asrama putri karena tidak ada orang di sana. Bangunan tersebut sudah selesai dibangun namun masih kosong, belum di tempati sama sekali. Sementara asrama putra masih ada tukang yang bekerja.


Daffa meletakan box kue di atas meja. Lalu membuka penutupnya. Setelahnya, dia menyalakan lilin kecil kemudian diletakkan di atas kue. 


Hari ini, tepat tanggal 12 Desember adalah hari kelahiran almarhumah Ibunya yang ke 52 tahun.


Sudah delapan tahun berlalu, namun hati kecilnya masih belum bisa ikhlas melepas sang pelita hati. Ikhlas memang mudah diucap, namun susah untuk dilaksanakan.


Kepergian sang ibu untuk selamanya menaburkan luka yang dalam di hati Daffa. Betapa tidak, orang yang begitu dia cintai harus menyerah pada penyakit ganas yang menyerang tubuhnya.


Berkali-kali Daffa mencoba bangkit. Tidak bisa. Luka itu masih membekas. Penyemangat hidupnya sudah tidak ada. Daffa rela melakukan apa saja demi kebahagiaan Ibu. Baginya, Ibu adalah segalanya. Namun, ketika tiada, apa yang diusahakan menjadi sia-sia.


Lihat selengkapnya