Hari berjalan seperti biasa. Diar yang sudah lebih dari dua Minggu berada di rumah usai kepulangannya dari Singapura, kembali merasakan ketidaknyamanan tinggal di rumah. Saat ini, dengan muka kesal, duduk di kursi paling pojok sambil melipat tangan. Tak ada senyum yang menghiasi. Raut muka penuh emosi tampak jelas di sana.
"Sampai berapa lama lagi aku menunggu?" tanya Diar pada pria bermuka bengis yang selama 20 tahun dipanggilnya bapak.
"Tunggu sebentar lagi. Mereka akan sampai," kata Sumali yang berdiri di depan pintu.
"Aku tunggu 10 menit lagi kalau sampai gak datang, aku tinggal!" dengus Diar gusar.
"Mereka pasti datang!" bentak Sumali.
Dan, 10 menit telah berlalu, tamu yang ditunggu belum tampak batang hidungnya. Sesuai janji, Diar beranjak dari duduknya.
"Mau ke mana?" tanya Sumali dengan nada tinggi.
"Aku kan sudah ngomong, kalau sampai 10 menit gak datang, aku tinggal. Sekarang sudah lebih dari 10 menit. Aku mau ke kampus. Ada rapat sama ustaz Ali." Bohong. Diar hanya beralasan saja. Hari ini tidak ada rapat dan tidak ada pertemuan.
Diar tahu siapa yang akan datang dan dia sudah bosan untuk menolak. Ya, bakal ada yang akan melamarnya. Bukan apa-apa, untuk saat ini, Diar belum siap menikah. Hatinya masih terluka dan luka itu belum sepenuhnya sembuh.
"Batalkan rapatnya!" Bentak Sumali. "Kalau tidak..." tangannya sudah mengepal di udara.
"Kalau tidak apa? Mau pukul aku lagi? Monggo... tapi jangan harap aku akan menjaga reputasimu di hadapan para tamumu itu. Kamu gak pengen kan kalau sampai mereka tahu kelakuanmu selama ini?" tantang Diar dengan nada mengancam.
Diar sudah jengah dengan tingkah laku Sumali yang entah apakah masih pantas disebut sebagai bapak.
Bukankah bapak adalah pengayom dan pelindung bagi anak-anaknya namun tidak untuk Sumali. Kadang Diar berpikir apa jangan-jangan dirinya bukan anak kandung Sumali?
Jika cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya maka itu tidak berlaku pada Diar. Sejak kecil Diar tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari Sumali, bapaknya.
"Anak kurang ajar. Lancang sekali mulutmu. Awas saja, sekali kau melangkah aku gak segan-segan akan menghajarmu!" Sumali menatap tajam Diar seperti pemburu hendak menerkam mangsanya.
Diar, masih dengan sikap menantangnya. Meski ada rasa ketakutan, tetapi dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Sumali.
"Assalamualaikum." Terdengar suara mengucap salam.
"Walaikum salam," jawab Sumali dan Diar bersamaan.
Benar. Tamu yang ditunggu sudah datang. Rombongan. Dengan membawa banyak hantaran. Detik ini, untuk sekian kali, Diar dilamar.
Diar mengenali satu wajah dari rombongan tersebut. Ya, anak buah bapaknya. Jadi dia yang mau melamarku, Diar membatin sembari tersenyum.
"Tolong, panggil Mbah bukmu di belakang, ya, Nak," pinta Sumali lembut.