Daffa terjaga dari tidurnya saat sebuah sentuhan lembut membangunkannya. Mata Daffa terbelalak ketika melihat sosok bayangan putih menembus pintu dalam keremangan malam.
Daffa penasaran. Sosok apa itu yang sering mengganggunya? Daffa, dengan keberanian maksimal, mencari tahu. Dia mengikuti ke mana sosok itu pergi. Saat di ambang pintu, Daffa sempat meraba pintu yang terbuat dari kayu jati. Mengetuknya sekali. Keras. Dan, pintunya terkunci! Bagaimana bisa pintu sekokoh itu dapat ditembus? Hei Daffa, apa kamu menolak lupa, sosok bayangan putih itu adalah hantu!
Daffa membuka kenop pintu pelan-pelan. Terdengar bunyi cit saat pintu berlahan terbuka. Horor sekali sehoror hidupnya Daffa!
Daffa menengok ke kanan dan ke kiri. Dia terperanjak ketika melihat sosok putih itu berjalan menuju.... Dapur.
Hai hantu, ngapain ke dapur? Mau cari makan? Daffa belum masak! Tapi... Memang hantu butuh makan? Daffa garuk-garuk kepala yang mulai gatal karena sudah dua hari gak keramas pakai sampo.
Daffa berjalan menusuri koridor. Daffa tidak bisa memastikan. Apa sosok yang berjalan itu manusia sungguhan atau hantu karena sepanjang koridor lantai 2 gelap gulita. Entah siapa yang mematikan lampunya padahal biasanya lampu di pojok dinyalakan supaya ada penerangan.
Daffa sengaja tidak menyalakan lampu. Takut ketahuan. Ketahuan sama hantu? Konyol sekali!
Benar. Sosok putih itu menghilang tepat di balik tembok dapur!
Gegas, Daffa menuju dapur. Daffa berpikir jangan-jangan aroma wangi yang tidak biasa waktu itu terendus indra penciumannya berasal dari hantu itu? Siapa dia?
Sampai di dapur, dengan satu gerakan Daffa meraba saklar lampu yang berada di sisi kusen pintu.
Daffa kaget bukan kepalang saat melihat siapa sosok putih itu. "Pak Ustadz! Astaghfirullahaladzim." Daffa mengurut dada.
Pak ustadz yang kepergok terkaget hingga tubuhnya sedikit berguncang. "Asstagfirullah, kamu Daffa? Kaget aku."
"Pak Ustadz ngapain ngendap-ngendap ke dapur? Duh ngagetin aku aja."
"Aku haus. Tadi sebenarnya mau ke masjid, sholat tahajjud, tapi ke dapur dulu cari minum."
"Tapi ya, dinyalain lampunya. Jangan dibiarkan gelap-gelapan. terus ngapain juga pakai pakaian serba putih? Sudah bajunya putih, sarungnya putih, kopyahnya putih pula. Aku pikir tadi hantu loh!" Daffa protes karena jantungnya hampir copot gara-gara Pak Ustadz!
"Hehehe, lah 'kan memang kalau aku mau sholat selalu pakai baju putih, Daf," elak Ustadz Karim.
"Oh ya, ding. Ya sudah ayo ke masjid. Aku juga mau sholat tahajjud. Jama'ah yuk," ajak Daffa.
"Ya sebentar. Aku mau minum dulu." Pak ustadz mengambil gelas lalu memencet dispenser.
"Buruan. Lain kali jangan diulangi lagi ya. Untung aku gak punya riwayat penyakit jantung. Coba kalau sampai kena serangan jantung, bisa jadi almarhumah aku!"
"Almarhum, Daf. Bukan almarhumah. Kalau almarhumah sebutan untuk perempuan yang sudah meninggal." Ustadz Karim meralat.
"Lah kalau waria yang meninggal. Disebut apa Pak Ustadz? Almarhumcong?" Seloroh Daffa.
"Ya tetap disebut almarhum. Karena kodratnya dia dilahirkan sebagai laki-laki."
Daffa cekikikan.