Selesai. Alhamdulillah. Daffa mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Mengucap syukur kepada Sang Maha Karya atas penyelesaian novel yang beberapa bulan terakhir dia tulis. Diketik, maksudnya, pada laptop kesayangan. Laptop yang dia beli hasil jerih payahnya menjadi penulis. Sebuah profesi yang dianggap remeh oleh sebagian orang.
Tak mudah memang menjadi seorang penulis. Butuh perjuangan dan kerja keras. Konsistensi adalah mutlak dilakukan. Tanpa itu, sebuah pencapaian tidak akan bisa maksimal. Dan, Daffa sudah membuktikannya. Dia menuai hasil dari perjuangannya selama 10 tahun meniti karir sebagai penulis.
Dulu, Daffa sempat diremehkan oleh orang di sekitarnya termasuk Ibunya, orang yang paling dia cintai. Mendiang Ibunya pernah berkata, "Buat apa menulis. Hanya buang-buang waktu saja. mending kerja, cari duit."
Tidak hanya itu, bahkan almarhumah Ibunya sempat membakar buku hasil tulisannya hingga membuat Daffa menangis dan mogok makan selama 2 hari.
Saat itu, Daffa berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan membuktikan kepada Ibunya bahwa anggapan menulis hanya buang-buang waktu adalah salah!
Sayangnya, setelah Daffa berhasil menjadi penulis terkenal, sang Ibu sudah menghadap lebih dulu kepada Sang Pencipta.
Daffa mengambil sesuatu dari dalam dompetnya. Daffa tidak memiliki foto kenangan bersama Ibunya. Satu-satu benda peninggalan Ibunya adalah KTP.
Daffa mengusap gambar mendiang ibunya yang sudah usang. Tulisan pada KTP hampir tak terbaca lusuh, terlalu lama disimpan dalam dompet. Matanya berkaca-kaca. Butiran crystal bening meluncur tak terbendung dari sudut matanya.
Daffa kangen sama Ibunya. Seandainya beliau masih ada, pasti akan bangga melihat anaknya sukses meraih mimpi menjadi penulis. Daffa menyeka pipinya yang mulai basah.
"Kamu kenapa, Daf?" tegur Nando yang tiba-tiba sudah berada di sebelah Daffa. Diliriklah benda yang dipegang teman sekamarnya itu dan dia langsung paham. "Kangen sama Ibumu?"
Daffa mengangguk pelan tanpa suara.
Nando mengusap pundak Daffa mencoba menenangkan keresahan hatinya. "Sabar ya. Doakan saja Ibumu. Aku yakin saat ini, beliau pasti bangga melihatmu bisa sukses meraih cita-cita," hibur Daffa.
"Terima kasih, Do," lirih Daffa.
"Bagaimana novel barumu, kapan akan rilis?" tanya Nando. Meski dia tidak suka baca novel, namun, dia mengikuti perkembangan karya yang dihasilkan dari Daffa yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri.
"InsyaAllah secepatnya. Ini mau aku kirim ke penerbit. Editornya dari kemarin nagih terus kapan aku kirim naskah baru."
"Wah keren. Biasanya penulis kan yang mencari penerbit untuk menerbitkan bukunya tapi penerbit yang mencari naskahmu untuk diterbitkan. Selamat ya. Aku juga pingin jadi penulis seperti kamu cuma aku gak punya bakat nulis," keluh Nando.
"Asal kamu tahu ya, Fernando Aldy Rahmat." Daffa menekankan nama lengkap Nando. "Menulis itu gak butuh keahlian atau bakat. Yang penting mau belajar dan itu butuh proses. Gak bisa instan!" Daffa berhenti sejenak. Dia menarik napas lalu membuangnya. "Aku bisa jadi seperti sekarang juga prosesnya panjang, Do. Sering ditolak penerbit, buku yang sudah aku terbitkan gak laku dipasaran, pokoknya banyak sekali proses yang aku lalui hingga pada akhirnya, satu bukuku diminati pembaca dan akhirnya laris dipasaran. Boom... meledak!" Daffa memberi penekanan pada kalimat terakhirnya dengan gerakan untuk memberi semangat pada Nando, keponakan doktor Soebagjo yang termuda dan gampang diarahkan.
Kedua orang tua Nando yang di Trenggalek menitipkan pada Daffa untuk membimbing dan mengarahkan putra-putranya supaya tidak salah jalan.