Penerimaan perdana calon santri tahun ajaran baru di pondok modern Marwah Salakhi akan dibuka tiga bulan lagi. Dan, Daffa sudah mulai mengeluh. Bertambah lagi daftar pekerjaan untuknya.
Daffa bukannya tidak bersyukur, namun, ini sudah di luar batas kemampuannya. Staff administrasi di yayasan hanya dia seorang diri. Tidak ada penambahan personel. Pantas saja, sering gonta ganti staf. Mungkin yang dulu-dulu sudah tidak sanggup menjalankan pekerjaan yang seabrek sementara gaji pas-pasan bahkan tergolong kurang bagi mereka yang memang serius ingin mendapatkan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan mereka dan bukan sekadar cari ilmu atau relasi seperti dirinya.
Terkadang, Daffa merasa iri terhadap staf yang bekerja di kantor administrasi universitas. Gaji pokok ada, uang makan ada, uang harian ada, dan juga uang lemburan. Meski hanya lembur setengah jam, mereka tetap dihitung lembur dan jika ditotal melebih gaji UMR. Sedang di yayasan? Jauh dari harapan.
Gaji hanya cukup untuk makan seminggu. Tidak ada uang makan, tidak ada uang harian, apalagi lemburan. Hanya, uang belanja dari Pak Munip sebagai penyelamat kebutuhan makan sehari-hari itupun untuk bersama.
Kata Mbak Endah, jarang ada staf yang bertahan lama di kantor yayasan. Paling mentok setengah tahun bekerja lalu resign. Hanya aku saja yang bertahan lama hingga menginjak dua tahun.
Daffa menghela napas panjang. Memijat pelipis yang mulai pening. Sepertinya, dia butuh rehat sejenak. Sudah lama Daffa tidak pulang kampung. Biasanya, minimal dua minggu sekali dia pulang. Dan, sudah hampir dua bulan dia tidak pulang sama sekali. Sang bapak sering menanyakan kapan pulang. Tentunya bukan ingin bertemu melepas rindu tapi minta kiriman uang.
Daffa meluruskan kakinya di bawah meja komputer saat pintu kaca kantor diketuk. Mata Daffa nyalang ketika tahu siap yang mengetuk pintu. Dia lagi.
"Assalamualaikum," sapa Diar dari luar.
"Waalaikum salam, masuk saja," Daffa mempersilakan.
Diar membuka pintu. Disusul seorang pria berpeci di belakangnya.
"Pak Ustadz?"
"Pak Ustadz mau les bahasa Inggris, Mas, sama aku." Diar menyahut seolah tahu apa yang sedang Daffa pikirkan.
"Iya nih, Daf. Semua pengajar pondok diwajibkan bisa bahasa Inggris, duh," timpal Ustadz Karim sedikit menggerutu.
"Lah kan memang harus, Pak Ustadz. Kan sudah dikonsepkan begitu pondok pesantrennya. Bahasa yang akan digunakan sehari-hari adalah bahasa Inggris dan bahasa Arab. Jadi semua harus bisa berbahasa sesuai dengan aturan pondok. Nanti aku juga bakal belajar bahasa Arab dari Pak Ali," Diar mendebat.
"Tapi masa' pengajarnya juga. Aku gak bisa bahasa Inggris!" Protes Ustadz Karim.
"Makanya belajar Pak Ustadz. Setidaknya bahasa Inggris basic. Biar nanti kalau santrinya bertanya bisa jawab. Lucu sekali kalau komunikasinya pake bahasa isyarat antara pengajar dengan santrinya gara-gara gak bisa bahasa Inggris." Diar mengomel. Sejak dari luar memang dia kesal sama Ustadz Karim. Banyak mengeluh. Padahal ini demi kebaikan dia juga.