Daffa memasukkan beberapa stel pakaiannya ke dalam tas ransel sambil bersenandung ria. Tampaknya pagi itu dia bahagia. Hari ini dia akan pulang bertemu keluarga. Kangen sama celoteh Dilan, keponakannya yang semakin hari semakin menggemaskan.
Tadi, putra bungsu kakak sepupunya itu video call memanggil-manggil namanya dan menanyakan kapan pulang dengan bahasa yang khas anak kecil. Usianya sekarang sudah menginjak dua tahun. Namun, bukan itu yang membuat pria penyuka warna biru bahagia. Ada hal lain yang membuatnya melambungkan harapan.
Novel yang kemarin dikirim ke editor di-acc dan akan segera diterbitkan dalam waktu dekat ini. Hanya saja, Daffa perlu merevisi naskahnya yang sudah direview.
Daffa selesai mengemasi pakaiannya. Setelah itu menyambar handuk di jemuran berukuran sedang berbahan alumunium depan kamar mandi.
"Daf, jadi pulang sekarang?" tanya Adi mematut di pintu mandi saat Daffa sudah berada di dalam.
"Jadi," jawab Daffa terdengar kumur-kumur. Tentu saja, karena sedang gosok gigi.
"Bawa motor apa naik bus ?"
"Naik bus aja. Nanti tolong antar ke terminal ya," pinta Daffa usai berkumur membersihkan sisa busa odol di giginya.
"Oke. Aku sarapan dulu kalau gitu." Tanpa menunggu jawaban Daffa, Adi ke keluar kamar menuju dapur.
Sementara Daffa merasakan perutnya bereaksi. lidahnya getir. Ada sesuatu dari dalam memaksa keluar hingga membuat kerongkongannya tidak nyaman. Namun, dia mencoba menahan dengan menelan ludah. Tidak bisa. Dorongan itu semakin kuat dan akhirnya Daffa memuntahkan isi perutnya.
Sisa-sisa makanan yang tadi dia makan keluar semua. Tenggorokan Daffa terasa asam. Dia tidak bisa makan sembarangan. Masakan tadi ditolak oleh lambung. Beberapa bulan terakhir, setiap pagi sering muntah. Kata dokter asam lambungnya naik.
Daffa mengeluh pasrah. Setelah sembuh dari radang paru-paru, timbul penyakit baru. Ternyata benar, obat paru-paru yang dia minum setiap hari selama menjalani pengobatan memiliki efek samping. Terbukti, lambungnya bermasalah.
Tubuh Daffa mulai lemas. Namun, Daffa tetap melanjutkan aktivitasnya mandi. Setelahnya, dia memakai baju lalu melempar tubuh ke tempat tidur. Kepalanya mulai pusing. Dalam kondisi seperti ini, tidak memungkinkan melakukan perjalanan pulang kampung yang memakan waktu dua jam.
Daffa meraih ponselnya lalu mengetik pesan wa pada saudara yang di kampung.
"Mbak, aku gak jadi pulang. Asam lambungku kambuh. InsyaAllah besok atau nanti kalau sudah mendingan, aku berangkat sore naik bus."
Pesan terkirim. Tanpa menunggu lama Mbak Zuli, kakak ipar sepupu membalas.
"Oala. Ya sudah. Jangan dipaksa pulang kalau sakit. Sebaiknya istirahat saja. Jangan lupa minum obat. Lagian aku sama Yak Jab mau ke Ngraho kok, Daf. Nanti aku mampir ke sana ya. Tak bawakan makanan kesukaanmu. Udang cryspy."
"Wah. Kok pas masak udang. Ya sudah terima kasih."
Setelah membalas pesan Mbak Zuli, Daffa meletakkan ponselnya di sebelah tubuhnya.
Tak sampai satu menit, ponsel Daffa bergetar berkali-kali. Sengaja tidak dibuat mode dering karena berisik. Apalagi ponsel Daffa selalu aktif.
Daffa hanya melihat sekilas notif wa-nya. Banyak sekali pesan masuk. Namun, dia abaikan. Nanti saja balas pesannya setelah kondisi fisiknya membaik.
"Jadi minta diantar ke terminal, gak? Kok malah rebahan?" Adi menegur usai sarapan.
"Gak jadi, Di. Aku habis muntah. Sekarang kepalaku pusing," jawab Daffa sambil merem.
"Asam lambungmu naik lagi? Sudah minum obat belum?"