"Kampusmu bagus ya, Daf. Asri, banyak pohon mangganya," ucap Rajab, kakak sepupu Daffa yang biasa dipanggilnya Yak Jab itu kagum akan kondisi kampus Universitas Samudera Biru.
"Tidak hanya di kampus ini, tapi di sepanjang jalan yang yak Jab lalui juga banyak ditumbuhi pohon mangga, kan?"
"Iya, Daf. Makanya kenapa dinamakan jalan Mangga," sahut Zuli.
"Iya betul sekali, Mbak."
"Pantas, kamu kerasan tinggal di sini, Daf. Tempatnya nyaman dan sejuk," imbuh Zuli.
Daffa tersenyum getir. Berusaha menekan perasaannya. Dia hanya membatin. Istri sepupunya itu belum tahu saja. Kalau bukan karena fokus kuliah, mungkin dia tidak akan bertahan sampai sekarang.
Dengan alasan tertentu, hatinya seolah sudah terikat. Ah, Daffa terlalu naif untuk mengakui kalau dia sudah tidak betah tinggal di tempat ini lagi.
Daffa membawa Rajab beserta istri dan anaknya menuju kantor yayasan yang tak jauh dari tempat parkir motor.
Di lain pihak, Diar dan Ustadz Karim tengah meributkan sesuatu, entah apa. Keduanya mendadak terdiam ketika mendengar suara gesekan dari pintu transparan yang terbuat dari kaca dan mendapati Daffa muncul bersama seorang laki-laki dan perempuan serta anak kecil yang digendong perempuan itu. Diar dan Ustadz Karim menduga kalau mereka adalah saudara Daffa.
"Assalamualaikum." Daffa mengucap salam pada Diar dan Ustadz yang langsung dijawab oleh keduanya secara bersamaan.
"Pak Ustadz, Miss Diar, kenalin, ini saudaraku dari Lamongan, yang aku ceritakan tadi. Ini Yak Rajab dan istrinya, Mbak Zuli."
Diar dan Ustadz Karim saling memandang. dan benar apa yang mereka duga. Keduanya lalu menyambut kedatangan saudara Daffa tersebut dengan bersalaman satu-satu.
Zuli menurunkan putranya dari gendongan. Setelahnya, menjabat tangan Diar dan Ustadz Karim.
Sementara itu, Dilan berlari kecil ke arah Daffa. "Em... mas..." ucapnya dengan bahasa bayi.
Tingkah Dilan yang bikin gemes, menarik perhatian Diar. Perempuan satu ini paling suka sama anak kecil.
"Adik namanya siapa?" tanya Diar pada Dilan. Namun, yang ditanya justru bersembunyi dibalik kaki Daffa.
"Ditanya sama tante loh, Dik. namanya siapa?" Daffa menimpali.
"Kok tante sih, Mas?" Diar memprotes.
Masih muda begini, dipanggil tante. Ini orang demen banget bikin orang emosi. Menyebalkan!
Sengaja. Daffa menahan tawa. Sekarang, dia punya hobi baru. Membuat perempuan misterius di depannya naik pitam.
"Lah, terus manggilnya apa dong kalau bukan tante? Ya kali dipanggil bunda?"
"Panggil Kak Diar, kan bisa."
"Tapi kan kamu bukan kakaknya, Tante Diar..." Daffa menekankan kata 'tante'.
"Benar apa yang dikatakan Daffa, Miss. Gak apa-apa lah kalau kamu dipanggil tante. Pantes, kok, kan kamu perempuan," sahut Ustadz Karim sembari meringis.
"Apaan sih, Pak Ustadz. Nyahut aja!"
Diar dengan emosi tingkat dewa berusaha untuk sabar mendengar celoteh kedua makhluk menyebalkan itu.
Kalau gak menghargai tamu, sudah aku smackdown dua orang ini. Huu...!
"Jawab, Dek, Dilan..." Rajab menengahi seolah merasakan atmosfir yang tidak enak.