Dari jauh, Diar memerhatikan Daffa dan saudaranya bercengkrama. Rasa iri menyelinap di relung hatinya saat melihat mereka. Tampak begitu hangat dan saling menyayangi.
Berbanding terbalik dengan kondisi keluarganya yang penuh dengan drama.
Uang dan uang. Hanya itu yang ada dipikiran keluarga Diar, lebih-lebih pada bapaknya yang selama ini gemar menghabiskan uang hasil usahanya.
Kasih sayang muncul ketika ada uang. Begitupun perhatian yang diberikan hanya ditunjukkan kepada tamu yang datang ke rumah agar seolah-olah keluarganya terlihat harmonis.
Diar capek dengan drama keluarganya. Sejak lahir dia belum pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Mereka berpisah saat Diar baru berusia satu minggu.
Seperti tadi pagi sebelum Diar berangkat ke kampus. Sang bapak menghalau langkahnya.
"Mana ATMmu? Aku pinjam dulu," todong Sumali di ruang tengah.
"ATM kok pinjam," sinis Diar.
"Kalau begitu berikan aku uang lima juta," ucap Sumali dengan nada memaksa.
"Buat apa? Kemarin sudah sepuluh juta sekarang minta lagi lima juta?" Diar menggeleng tak percaya. Meski dia tahu untuk apa uang itu digunakan.
"Sama orang tua sendiri perhitungan!"
"Orang tua macam apa bisanya menghabiskan uang anaknya? Ha?!" Diar sudah tidak tahan lagi. Darahnya mendidih. Sejak kepulangannya dari Singapura dua minggu lalu, sudah puluhan juta uangnya melayang sia-sia demi menuruti hasrat laki-laki yang entah, apakah masih pantas disebut bapak?
"Aku butuh uang buat bayar hutang!" seru Sumali dengan nada tinggi hingga menampakkan urat nadi di lehernya.
"Hutang apa? Hutang judi? bisa gak sekali aja berhenti berjudi! Gak malu apa diomongin orang?" cecar Diar. Emosinya meluap.
"Ah, bacot! Sini mana uangnya! Kalau gak..." Sumali menatap bengis sembari melayangkan tangan di udara.
"Kalau gak apa? Mau pukul aku lagi? Ayo pukul!" tantang Diar dengan tatapan tak kalah bengis.
Entah, apa yang dipikirkan Sumali, dia menarik kembali tangannya yang hendak dilayangkan ke wajah Diar.
Anak ini, kalau hatinya sudah membatu, kekerasan fisik tak dapat mengubah pendiriannya. Jadi percuma melakukan kekerasan. Harus dengan cara lain.
"Ayo lah, Nak. Iya bapak akui, semalam bapak kalah judi lalu hutang ke teman lima juta dan hari ini harus bayar. Kalau gak, bapak bisa masuk penjara. Kamu gak mau kan bapak dipenjara?" Sumali melembutkan suaranya. Mendadak dia menjadi seperti seorang bapak yang terdzolimi.
Lidah memang tak bertulang. Semanis itu ucapan Sumali untuk menaklukkan hati Diar. Dia tahu, hati anaknya itu begitu lembut. Tak mungkin tega membiarkan orang tuanya dipenjara.
Diar mendesah. Bodo amat kalau Sumali masuk penjara. Sekalian saja dihukum gantung biar tidak menyusahkan hidupnya. Namun, mengingat nama baik keluarga di atas segalanya, tembok yang membentengi hatinya yang selembut sutra itu roboh seketika. Dia tak kuasa melihat keluarganya malu gara-gara ulah bapaknya. Sang nenek, yang sudah seperti ibunya, menjadi alasan kuat untuk memikirkan ulang keputusannya.
"Kirim rekeningnya ke nomorku. Nanti aku transfer," ucap Diar kemudian. Terpaksa, dia harus mentransfer uang itu untuk menutupi aib keluarga.
"Terima kasih, Nak. Kamu memang anak yang baik," ujar Sumali sembari tersenyum licik. Dia merasa di atas angin.
"Tante Iyha... Tante Iyha.... Mau..."
Suara si bocah gemoy menggugah kesadaran. Diar terperanjat. Lalu berusaha mengendalikan dirinya agar tampak baik-baik saja. Dilihatnya Dilan dengan lahap memakan klengkeng yang sudah dikupas kulitnya.
"Enak, Dek?"
"Enak..."
"Dek Dilan mau lagi?"
"Mau...."
"Sebentar ya, Dek. Tante Iyha ambil lagi."
Dengan sedikit melompat Diar mengapai segerombolan klengkeng yang sudah matang. Dapat. Diar mematahkan ranting pohon yang dipenuhi buah klengkeng.
"Nih, banyak kan, Dek," kata Diar sembari menunjukkan segerombolan klengkeng yang baru dipetiknya.
"Mau tante Iyha..." Dilan merengek minta dikupasin.
"Iya iya sebentar," ucap Diar lembut. Kemudian mengupas kulit klengkeng lalu menyuapi buah klengkeng yang sudah diambil bijinya ke mulut Dilan.