Daffa melempar tubuhnya di atas tempat tidur usai menyelesaikan 3 BAB novel terbarunya. Suasana hatinya hari ini sangat bagus hingga dia dapat menghasilkan tulisan sebanyak 5000 kata dalam kurung waktu tiga jam. Ini merupakan catatan rekor dalam sejarah kepenulisannya. Kedatangan keluarga ke kampus USB tadi sore meningkatkan moodnya. Dan, memang, jika mood kita sedang bagus, pekerjaan yang kita lakukan terasa sangat mudah.
Ucapan Zuli, kakak iparnya tadi sore, mengusik pikiran Daffa. Belum apa-apa sudah mendapat lampu hijau dari pihak keluarga mengenai hubungannya dengan perempuan bermata almond. Daffa teringat akan drama yang terjadi pada sore itu. Dia menenggelamkan kepalanya di atas lipatan tangan sembari senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
Di langit-langit, Daffa seolah melihat cuplikan adegan di kantor yayasan saat Dilan memanggil Diar dengan sebutan tante Iyha. Ekspresi marah perempuan itu sangat lucu karena Dilan lebih menuruti perkataannya ketimbang dirinya.
Ketika Diar menginjak kakinya dengan sengaja, Daffa tidak marah sama sekali. Sakit memang bahkan jempol kakinya masih berdenyut-denyut, tapi justu rasa sakit itu menjadi sebuah keseruan tersendiri buat dia. Daffa malah bahagia melihat Diar begitu puas melampiaskan 'dendam kesumatnya' karena sudah dibuat kesal.
Tanpa disadari Daffa, seseorang yang berada di sebelahnya memerhatikan dengan tatapan mengintimidasi. Dia bergumam berkali-kali. Menyindir. Sayang, Daffa acuh. Bahkan telinganya seolah tersumbat kapas sehingga suara Nando tak begitu didengar.
"Sepertinya ada yang sedang jatuh cinta nih!" seru Nando dengan meninggikan suaranya.
Daffa bergeming.
"Njirr.. dicuekin..," keluh Nando.
Kesal. Nando dengan otak jailnya bereaksi. kemudian Dia membuka sebuah aplikasi gawainya. Sambil tersenyum jahat, Nando mendekatkan speaker gawai di telinga Daffa.
Dan, suara adzan menabuh gendang telinga Daffa. Dia tersentak kaget.
Sialan. Aku diadzanin. Dipikir mati apa?
"Cik. Aku masih hidup woy. Malah diadzanin," geram Daffa. Lantas menimpuk Nando dengan guling. Melesat. Nando dapat menghindari serangan Daffa.
"Habisnya, aku dicuekin. Kamu ngelamunin apa sih?" Nando berpikir sejenak. "Hm... jangan-ja-ngan perempuan yang sering ke kantormu itu ya, siapa namanya?"
"Miss Diar," spontan Daffa menjawab datar.
"Wah ketahuan. Kamu suka sama dia?"
"Sotoy lu. Dah jauh-jauh sono sebelum hpku melayang ke kepalamu!"
Nando tertawa lalu kabur sebelum kepalanya benjol kena gawai. Daffa tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Usai Nando menghilang tanpa jejak, kembali pikiran Daffa melayang. Hari esok telah me-nanti. Entah, drama apa lagi yang akan terjadi antara dirinya dengan perempuan itu.
Mata Daffa mulai terpenjam. Dan Malam itu, malam yang indah, menghantarkan Daffa ke langit ketujuh.
***
"Daffaa... Bangun woy!" suara cempreng sese-orang mengganggu telinga Daffa.
Daffa terjaga. Matanya mengejap sesaat. Wajah yang gak banget tampak di depan mata. Seperti ada perekat, kelopak matanya kembali menempel.
"Apa sih, Pak Ustadz ganggu bae," sengak Daffa. Dia kemudian membelakangi Ustadz Karim.
"Kebiasaan. Habis subuh itu gak boleh tidur."
"Aku masih ngantuk Pak Ustadz. Semalam cuma tidur dua jam," keluh Daffa.
"Salah sendiri kenapa gak tidur."
"Aku ngenaskah, Pak Ustadz. Bangunin aja yang lain."
"Anak-anak sudah bangun."
Daffa beringsut sembari menggerutu tak jelas.
"Bangun, Daf. Sudah siang. Kamu gak siap-siap kah? Katanya hari ini mau pulang kampung," Ustadz Karim mengingatkan.