"Gak gitu Pak Ustadz pelafalannya." Diar geram. Sedari tadi Ustadz Karim tidak juga bisa melafalkan kata 'brother' padahal kata itu pronunciationnya paling mudah.
"Terus gimana? Kok dari tadi salah mulu,"
"Coba ikuti aku..." Sebenarnya Diar sudah lelah mengajari Ustadz Karim. Laki-laki yang dipanggil ustadz itu sepertinya memang malas belajar bahasa Inggris. Padahal apa yang dilakukannya itu demi kebaikannya sendiri.
"Brother dibaca brader." Diar mempraktikkan layaknya tutor profesional. "R-nya tipis jangan ditekan. Lidah menempel di langit-langit tapi jangan sampai bergetar. Paham kan maksudku?"
Ustadz Karim mengikuti apa yang dipraktikkan Diar. Kesal. Karena berulang kali disalahkan padahal dia sudah berusaha keras, tetap saja salah. Entah, apakah Diar sengaja membuatnya kesal atau memang cowok selalu salah di mata cewek?
Duh, makhluk berjenis kelamin perempuan sungguh merepotkan!
"Coba ulangi sekali lagi ....," untuk kesekian, Diar memberi instruksi.
Ustadz Karim menghela napas. Bismillah, ucapnya dalam hati. "Brader," lafalnya.
"Nah, gitu baru benar." Diar merasa lega atas pengucapan Ustadz Karim. "Okey for the last any question?"
Ustadz Karim melongo. Dalam hati dia menggerutu. Sudah tahu tidak bisa berbahasa Inggris malah ngomong cas cis cus pakai bahasa planet. Huft!
Diar, memiringkan bibirnya. Bukan bermaksud meremehkan. Dia hanya mengetes kemampuan Ustadz Karim. Sejauh mana dia menyerap apa yang sudah diajarkan padanya.
"I think nothink," Diar menjawab pertanyaannya sendiri. Sudah bisa ditebak. Ustadz Karim tidak mengerti apa yang diucapkan. Ah, sudahlah.
"Thank you for coming my class see you next time, I'm sorry if I do appologize, have good day Pak Ustad ...." Diar menambahkan.
"Eala. Embuh. Cepat sekali ngomongnya. Bahasa Indonesia saja, Miss." Ustadz Karim memotong.
"Namanya juga belajar bahasa Inggris ya ngomongnya berbahasa Inggris lah."
"Tapi aku gak ngerti kamu ngomong apa!" seru Ustadz Karim memprotes.
"Makanya kalau belajar yang serius. Biar ngerti. Jangan banyak mengeluh."
"Dari awal kan aku gak suka bahasa Inggris, Miss. Bahasa Inggris adalah bahasa munafik."
"Kok Pak Ustadz ngomongnya begitu?" Diar terkejut mendengar ucapan itu keluar dari mulut Ustadz Karim. Bagaimana mungkin seorang yang disebut ustadz mencela sebuah bahasa?
"Gimana gak munafik, Miss. Tulisan sama pengucapannya saja beda," argumen Ustadz Karim.
Diar geleng-geleng. Namun, kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakan Ustadz Karim masuk akal.
Tidak. Ini tidak benar. Perlu diluruskan!
Diar menghirup udara dalam-dalam. Mengumpulkan energi sebelum mematahkan argumen ustadz Karim.
"Oke kalau Pak Ustadz mengatakan bahasa Inggris adalah bahasa munafik. Lalu apa bedanya dengan Bahasa Arab? Bahkan huruf sama bacaannya beda banget. Berarti bahasa Arab juga bahasa munafik dong. Sama saja dengan bahasa Mandarin. Tulisannya beda dengan bacaannya."
Ustadz Karim terdiam. Penjelasan Diar menusuk ke otak kanannya.
"Eh gak usah jauh-jauh ding, bahasa Jawa, misalnya. Hurufnya aneh tapi bacaannya malah lebih aneh. Bila ditulis latin ha na ca ra ka tapi dibaca ho no co ro ko."
"Ya gak gitu juga kali, Miss ...."
"Gak gitu gimana. Sama saja kan?" intonasi Diar naik satu oktaf. "Makanya Pak Ustadz jangan menilai sebuah bahasa berdasarkan perspektifmu saja. Setiap bahasa memiliki pelafalannya sendiri. Lagi pula bahasa itu ciptaan Tuhan sebagai alat berkomunikasi untuk manusia yang berbangsa-bangsa."
"Ya Ya. Susah ngomong sama orang pinter!" Ustadz Karim mengakhiri perdebatannya dengan Diar. Daripada makin panjang. Ujung-ujungnya dia sendiri yang tersudut. Harus diakui, Diar perempuan yang cerdas.
Jadi, jangan pernah berdebat dengan dia kalau kecerdasanmu di bawah rata-rata!