Setengah jam berlalu. Daffa dan saudaranya telah selesai menghabiskan hidangan makanan yang dipesannya. Setelah membayar bill, me-reka melanjutkan perjalanan.
Dalam percakapannya dengan kedua sauda-ranya di rumah makan Jala Seafood, Daffa jadi kepikiran dengan ucapan sepupunya.
"Mbak Zuli kemarin cerita ke aku, katanya kamu naksir sama dosen muda di kampusmu. Kalau kamu benar-benar suka sama dia, kamu kejar dia. kamu perjuangkan. Siapa tahu itu jodohmu."
"Tapi dia sudah gak mengajar di kampus lagi, Yak. Dan aku rasa, dia sudah punya pacar. Jadi lebih baik aku memilih mundur. Anggap saja dia bukan jodohku," ungkap Daffa dengan nada berat.
Daffa tersenyum getir saat menceritakan kisah cintanya dengan dosen muda yang kandas di tengah jalan. Sebenarnya, Daffa sendiri tidak tahu apakah dosen muda bernama Ambaryna itu memiliki pacar atau belum. Dan, apakah dia juga memiliki perasaan yang sama, Daffa juga tidak bisa memastikan.
Kedekatan Daffa dengan Ambaryna selama enam bulan terakhir, membuat Daffa tersadar bahwa perempuan yang nyaris sempurna itu sulit untuk dijangkau.
Perbedaan status dan prinsip yang mendasar menghalangi langkahnya untuk memperju-angkan cintanya. Lagi pula, sejak dulu, Daffa tidak memiliki kepercayaan diri untuk me-ngungkapkan perasaannya pada lawan jenis yang disukainya.
Berawal ketika Ambaryna melamar pekerjaan sebagai dosen di kampus Universitas Sa-mudera Biru. Karena kecerdasannya, Lulusan S2 dari salah satu kampus ternama di Indonesia dengan predikat cumload, Ambaryna tidak hanya diterima sebagai dosen, tetapi juga diminta untuk membantu doktor Soebagjo mendirikan Sekolah Menengah Pertama yang waktu itu di Yayasan Pendidikan Purna Bangsa belum ada.
Dalam proses pembuatan proposal pendirian, di saat itulah Daffa mulai dekat dengan Ambaryna. Setiap hari mereka bertemu. Paras yang menawan ditambah lagi memiliki kecerdasaan di atas rata-rata dan satu fre-kuensi, membuat Daffa tertarik untuk lebih jauh mengenal perempuan itu.
Dari ketertarikan, berubah menjadi kekaguman. Dan, dari kekaguman yang terus dipupuk de-ngan kebersamaan, berbuah perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Kau bisa menyebutnya itu ....
Cinta.
Ya, cinta. Seperti yang pernah Daffa rasakan sebelumnya. selama 31 tahun sejak dia di-lahirkan ke dunia, ini kali ketiga dia merasakan jatuh cinta.
Pahit. Itulah yang Daffa rasakan. Setelah sekian lama dia merasakan jatuh cinta, harus runtuh seketika tatkala perbedaan prinsip di antara keduanya begitu kentara.
Daffa tipikal pria yang tak mudah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta, dia akan menjadi pria setia yang menjaga hati untuk satu cinta. Namun, jika cinta itu bukan untuknya, maka dia akan menjadi laki-laki introvert yang menutup pintu hati rapat-rapat agar tak ada satu pun cinta yang dapat mengetuknya kembali. Kecuali jika Tuhan sudah berkehendak. Lain cerita.
Daffa selalu berdoa kepada Tuhan untuk dipertemukan dengan jodohnya. Dia selalu merasa ada seseorang yang sudah lama menantinya. Entah siapa. Hanya saja ketika dia bertemu dengan seseorang yang menurutnya adalah jodohnya, lantas keyakinan itu di-patahkan oleh kenyataan bahwa bukan pe-rempuan itu yang dia cari.
Saat Daffa salah menilai perempuan yang dianggap jodohnya, maka dia sudah tidak berharap untuk bertemu dengannya. Daffa tidak mau apa yang dibayangkan itu hanya ilusi semata.
Dan, ketika Daffa terlanjur menutup diri dari dunia percintaan, kini hadir seseorang me-ngetuk pintu hatinya. Dialah Diar, sosok perempuan yang tiba-tiba hadir dalam kehidupannya, yang bahkan Daffa tidak mengira sosok yang diawal sudah memberi kesan yang menjengkelkan kini justru berketerbalikkan menjadi kekaguman.
Daffa sering membayangkan akan bertemu dengan perempuan yang dicarinya. Berakhlak mulia, pintar, dan cantik sebagai bonusnya.
Ya, Memang. Seperti kebanyakan laki-laki pada umumnya, perempuan yang sempurna adalah yang memiliki paras cantik, body proposional, pintar dan berkepribadian menarik.
Diar, perempuan yang dikagumi Daffa belum memenuhi kriteria tersebut. Hanya saja, kekagumannya pada perempuan bernama lengkap Diar Asiyah Ardiansyah bukan tanpa alasan. Selain pintar, ada sesuatu yang membuatnya berbeda dibanding dengan perempuan lain, entah apa.