Diar mempercepat langkahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 12.10. Setengah jam yang lalu orang kepercayaannya mengirim pesan serius. Katanya ada masalah di pabrik.
Tak butuh waktu lama, Diar sudah berada di parkiran. Saat dia memasukkan kunci ke dalam kontak motor, terdengar nada dering dari dalam tas.
Seseorang telah menghubunginya. Dilihatlah sekilas nama penelepon. Diar menggeser logo telepon berwarna hijau.
"Waalaikum salam, ya, Mbak Dewi. Ini mau jalan. Orangnya suruh menghubungi setengah jam lagi," ucap Diar. Setelahnya, dia memutus sambungan telepon lalu memasukkan kembali gawainya ke dalam tas. Diar menghela napas berat sebelum motor matic kesayangannya membela angin.
***
Setengah jam kemudian, Diar sudah sampai di lokasi. Seorang laki-laki setengah baya berseragam cokelat menyambutnya ramah saat membukakan pintu gerbang.
"Terima kasih, Pak Adi," ucap Diar sambil menghentikan motornya di depan pos penjagaan. "Sudah makan siang, Pak? Saya bawa gado-gado. Ini ambil kalau mau," tawarnya.
"Tidak perlu repot-repot, Bu Diar, terima kasih," tolak Pak Adi halus.
"Tidak apa-apa. Saya bawa banyak kok. Tadi saya ada penjual gado-gado di jalan, jadi pingin makan gado-gado. Ini ambil. Tidak perlu sungkan-sungkan. sekalian ambilkan buat Mas SahmuDa."
Satpam berkumis tipis itu menghampiri Diar. "Wah terima kasih, Bu Diar. Kebetulan sekali, saya belum makan siang."
"Ya toh, ini." Diar menyerahkan dua bungkus gado-gado kepada Pak Adi.
"Terima banyak loh, Bu Diar. Sering-sering aja. Hehehe ...." canda Pak Adi menampakkan deretan gigi yang beberapa bagian gigi gerahamnya sudah tanggal.
Usai perbincangan hangat dengan bapak dua anak tersebut, Diar memakirkan motor di parkiran khusus karyawan. Lalu memasuki kantor sembari membawa sekantong berisi beberapa bungkus gado-gado yang dibelinya tadi.
"Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga." hela Dewi lega sambil meraih buku laporan di meja lalu menghampiri Diar yang tengah duduk di kursi ruang tamu.
Ruang kerja Dewi dan ruang tamu hanya dipisahkan kaca transparan yang sebagiannya blur dari bawah sampai atas setinggi satu meter sehingga aktivitas di luar ruang kerjanya masih bisa terlihat dari ruangannya.
"Gimana-gimana, Mbak. Ada masalah apa?" tanyanya sambil meletakkan barang bawaannya di meja.
"Ini loh, Bu Diar, ada komplain dari customer. Katanya pengirimannya belum datang. Aku sampai stress menghadapinya," keluh Dewi sambil memberikan buku laporan pada Diar.
"Tumben, biasanya bisa nangani sendiri."
"Tapi yang satu ini beda, Bu. Tau kan, Bu Utty. Cerewetnya minta ampun. Tadi telepon lagi. Beliau cuma ingin ngomong sama ownernya langsung. Aku tadi sudah menyampaikan untuk menghubungi setengah jam lagi sampai Bu Diar datang." Dewi memijat pelipisnya.
"Kamu saja lah. Coba menyamar jadi aku."
"Gak mau, ah. Aku gak sanggup. Lagi pula, Bu Utty kenal dengan suaraku. Jadi gak mungkin mengelabui customer yang satu itu," tolak Dewi sembari menghempaskan tubuhnya di sofa panjang sebelah tempat duduk Diar. Kantong plastik transparan berisi bungkusan kertas minyak di atas meja menarik perhatiannya.
Diar menyengir. Ah, kalau sudah begini, dia juga yang harus menangani sendiri untuk masalah ini.
"Ini apa?" tanya Dewi penasaran.
"Gado-gado. makanlah."
"Beli di mana?"