Dewi tengah menikmati makan siangnya dengan gado-gado. Sementara Diar masih berkudat dengan buku laporan.
Kring.... kring... kring...
Terdengar suara telepon berdering.
"Kayaknya itu Bu Utty, deh, Bu," ucap Dewi di sela-sela makan.
Dewi hendak menghentikan aktivitas makan-nya, namun langsung dicegah oleh Diar.
"Kamu duduk saja. Lanjutkan makanmu. Biar aku yang mengangkatnya."
"Tapi, Bu ...." Dewi merasa tidak enak hati.
"Sudah gak apa-apa. Ini perintah!"
"Baik, Bu Diar. Terima kasih."
Dewi melanjutkan makanannya yang tinggal setengah. Sementara Diar menuju pesawat telepon.
"Iya, halo .... Benar, ini saya sendiri, Diar .... dengan siapa ini saya berbicara? .... Oh Bu Utty ya, baik .... Mohon maaf Ibu, sesuai tanggal resi pengiriman, barang sudah dikirim sejak tiga hari lalu .... Iya resi kemarin sudah dikirim sama staf saya, kan? .... Kemungkinan keterlambatan pengiriman dikarenakan terkendala ekpedisi-nya. Nanti saya cek kembali kepada pihak ekpekdisi, ya Bu.... Saya pastikan sebelum tanggal 28, barang akan sampai ke tempat Bu Utty," terang Diar sambil melirik kalender dinding di depannya. Artinya dua hari lagi barang harus sampai ke alamat pelanggan.
"Mohon maaf ya Bu atas keterlambatannya. Semoga hal ini tidak terjadi lagi .... Terima kasih Bu Utty atas kerjasamanya," lanjut Diar sebelum mengakhiri percakapannya dengan salah satu pelanggan setianya.
Diar menghela napas setelahnya. Lega. Masa-lah komplain customer sudah teratasi. Dari ruang yang berbeda, Dewi memerhatikan dengan saksama. Gestur, tata bahasanya, benar-benar mengimplemenatasikan seorang pemimpin sejati.
Apapun yang dia lakukan, tidak akan bisa seperti bosnya. Diar memiliki value yang tidak semua orang memilikinya. Dewi menyadari hal itu.
Usai menyelesaikan tugasnya sebagai owner, Diar kembali ke ruang tamu. Aura kepe-mimpinan dari Diar terpancar hingga membuat Dewi, staf kepercayaannya itu melongo.
"Kenapa lihat aku seperti itu?" gugah Diar. "Hai ...." Diar menyapu udara depan wajah Dewi karena lawan bicaranya tidak merespons.
Dewi tergerak. Kesadarannya kembali. "Gak apa-apa, Bu. Aku gak menyangka saja Bu Diar bisa menghadapi Bu Utty yang cerewetnya minta ampun. Aku saja angkat tangan."
"Ya kita sebagai penjual atau penyedia layanan, siap gak siap harus mampu menghadapi komplain dari buyer dengan berbagai macam karakter dan watak yang berbeda-beda."
"Tapi tidak semua orang bisa seperti Bu Diar yang mampu menghandle semua masalah."
"Gak juga kok. Kadang kala aku juga gak bisa menghandle masalah yang sedang aku hadapi. Yang penting sabar dan tenang dalam menghadapi segala masalah. Ketenangan akan membuat otak menjadi jernih sehingga kita bisa berpikir bagaimana cara untuk menghadapi masalah atau kesulitan yang kita hadapi. Ingat. Setiap kesulitan ada kemudahan. Itu sudah dijelaskan loh dalam Al-Qur'an."
"Wah sudah kayak ceramah Mamah Dedeh bawa-bawa Al-Qur'an segala."
Diar tertawa ringan. "Ah, bisa aja kamu. Sudah ya, aku pergi dulu. Ada urusan. Aku minta tolong, bagian gudang dan produksi di cek ya." Diar meraih tasnya di meja, bersiap-siap untuk pergi.
"Siap Bos."
Baru satu langkah, Diar teringat sesuatu. "Oh ya, satu lagi. laporan barang yang keluar tolong kirim ke WA ya jam lima sore nanti."