Memilih bersamamu tak pernah menjadi keraguan bagiku ....
Lengang. Sunyi. Bunyi detik jarum jam di dinding nyaris membuatku gila saat ini juga. Di depan meja rias lengkap dengan cermin, aku masih memandangi diriku yang terlihat berbeda dari biasanya. Make-up natural, bulu mata lentik, alis hitam yang sudah dirapikan, serta bibir yang dipoles lipstik senada. Sebenarnya, aku selalu berdandan seperti ini jika akan ke luar ataupun ke kantor. Yang membuatku kini tampak berbeda adalah ekspresi wajahku yang tegang. Gugup.
Mataku mengarah pada jam dinding yang tak mau menghentikan waktu. Suara detakannya seirama detak jantungku. Ah, apakah semua orang seperti ini jika akan menikah?
Ya, saat ini aku tengah menunggu detik-detik terpenting dalam hidupku. Aku akan MENIKAH. Satu hal yang pasti diidamkan semua orang. Dan, ketika Kafka—calon suamiku—tiba-tiba saja melamarku, aku tidak bisa menolaknya. Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan dengan senang hati.
Akan tetapi, kini sebuah keraguan tiba-tiba saja timbul. Ini semua karena Siska, kakak kandungku sendiri. Dia bukannya tidak suka aku menikah. Dia turut senang, sebenarnya. Namun, ucapannya mengenai pernikahan pekan lalu membuatku jadi memikirkan ulang kata-katanya sekarang.
“Menikah itu bukan urusan gampang, Lita sayang. Cinta nggak akan mampu jadi fondasi rumah tangga selamanya. Dan, ingat, kamu sama Kafka baru pacaran lima bulan.”
Aku hanya bisa mendengus—waktu itu. Siska mungkin mendadak senewen karena enam bulan lalu ia bercerai dengan suaminya. Memangnya kenapa kalau aku dan Kafka baru jalan selama lima bulan? Banyak pasangan yang langgeng tanpa butuh waktu pacaran yang lama.
“Dan, ingat lagi, Kafka sebelumnya juga pernah menikah.” Siska berbisik dengan mata bersinar jail. Aku hampir melupakan kenyataan itu karena terlalu senang dilamar Kafka.