Married in Trouble

Bentang Pustaka
Chapter #2

Satu

ku ingat. Tadi malam usai acara resepsi pernikahan, tubuhku terasa sangat lelah. Tetapi, aku lupa di mana membawa tubuhku beristirahat. Mungkin di salah satu sofa dalam ruang kamar yang berantakan. Tetapi, kenapa sofa yang tak begitu empuk itu terasa senyaman ini? Aku bahkan enggan membuka mata saking tak ingin melepaskan rasa nyaman ini. Dan, apa yang terasa hangat ini? Bantal gulingku tak mungkin sehangat ini. Bukannya mencari tahu benda apa itu, aku justru memeluknya dengan erat.

Aku lupa. Di mana Kafka setelah resepsi? Dia pasti sama lelahnya seperti aku. Dengan cepat mataku terbuka. Niatnya untuk mencari tahu di mana suamiku berada. Tetapi, yang terjadi aku justru tertegun. Ada yang aneh dengan tubuhku dan sesuatu yang kupeluk. Apalagi sesuatu yang kupeluk itu bergerak sambil bergumam pelan.

“Akh!” Rupanya Kafka tepat berada di depanku. Dan, ternyata dialah yang kupeluk sejak tadi. Aku terkejut, tentu belum terbiasa. Aku belum pernah sedekat ini dengan laki-laki mana pun. Walaupun hukum sudah mengesahkan, tetap saja secara batin aku belum siap.

Perlahan aku beringsut mundur, menjauh dari Kafka. Sulit juga. Apalagi ternyata tangan Kafka yang kokoh itu memeluk tubuhku. Ia bergumam lagi ketika aku bergerak. Beruntung ia justru menarik tangannya dan membiarkanku melepaskan diri. Aku bernapas lega, seperti berhasil kabur dari tempat penyekapan.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ini kamarku yang diubah menjadi kamar pengantin. Kamar ber­nuansa putih memang selalu terlihat cantik, apa adanya.

Merasakan Kafka bergerak lagi, aku menoleh ke arahnya. Ia masih tidur dengan nyaman. Lucunya melihat dia begitu. Ternyata memang benar, laki-laki bisa terlihat polos seperti bayi ketika sedang tidur. Aku memandangi wajahnya dalam diam. Kedua mata yang tertutup rapat dengan alis tebal yang menaungi. Hidung yang tidak terlalu mancung. Bibir penuh yang berwarna merah gelap. Garis wajahnya yang tegas dengan rahang kokoh. Aku mengusap lembut rambutnya sebelum beranjak turun dari tempat tidur. Sweet dream, My hubby.

Aku belum merencanakan apa pun setelah bangun pagi. Setelah melalui resepsi yang merepotkan, aku berharap dapat lebih lama lagi tidur. Tetapi, sekarang statusku sudah menjadi seorang istri. Kupikir bukan ide baik untuk bermalas-malasan.

Aku beranjak dari tempat tidur, duduk di depan cermin dan melihat bagaimana kondisi wajahku sekarang. Sisa make-up tebal semalam masih ada. Aku menguap. Masih mengantuk. Aku melihat Kafka sekali lagi. Betapa nyamannya dia bisa tidur seperti itu. Sementara aku bingung harus melakukan apa. Ikut tidur sepertinya tidak wajar. Mama mungkin marah, tapi aku masih bisa menanganinya. Tapi, ibu mertuaku? Beliau ada di sini, mana mungkin aku menunjukkan perangai jelek tentang sifat malasku pada pagi hari—tepatnya saat aku tidak pergi bekerja.

Mungkin aku harus menyiapkan sarapan? Ah, benar!

Setelah membasuh wajah dan gosok gigi, aku berjalan ke dapur. Langkahku terhenti ketika melihat Mama dan ibu mertuaku sudah lebih dulu di sana. Ya, tentu saja. Aku kesiangan. Walau ini masih pukul enam pagi, tapi bagi kaum ibu-ibu ini sudah kesiangan untuk menyiapkan sarapan. Aku tidak tahu bagaimana respons ibu mertuaku jika melihatku baru muncul sekarang.

“Udah bangun kamu, Ta? Sini bantuin .…” Mama memelotot galak. Aku terkejut. Lebih terkejut lagi saat ibu mertuaku menoleh.

Wanita paruh baya yang berwajah sayu itu tersenyum tipis. Ibu Kafka orang Jawa. Gaya pakaiannya sederhana. Sekilas tak ada yang menyeramkan darinya. Ya, kecuali tahi lalat pekat di atas bibirnya itu. Aku takut setengah mati melihatnya saat Kafka mengenalkan kami kali pertama.

“I … iya, Ma.” Aku bergabung dengan mereka.

Tampaknya aku tak banyak membantu. Aku hanya mencuci sayuran, mengupas bawang, merajang cabai dan memblender bumbu. Sementara Mama dan ibu mertuaku sibuk di depan kompor seperti tengah kompetisi memasak. Mama menangani sayur asam, sementara ibu memasak gulai ikan.

Ada yang membuatku tidak nyaman berada di dapur bersama ibu mertua. Beliau tampaknya memperhatikan apa yang kulakukan. Seperti ketika aku mencuci sayuran, beliau melihat. Begitu juga ketika aku mengupas bawang. Sepertinya, beliau ingin tahu apakah aku terbiasa di dapur. Dan, jawabannya adalah, aku tidak terbiasa. Aku hanya akan ke dapur jika sangat kelaparan dan terpaksa menggoreng telur atau memasak mi instan. Hanya itu. Dan, ibu mertuaku belum tahu hal itu.

Usai memasak, aku lekas “melarikan diri” dari dapur dengan alasan untuk membangunkan Kafka. Memang aku akan membangunkan suamiku itu. Sesampainya di kamar, rupanya Kafka sudah bangun. Ia duduk di tepi ranjang sambil mengusap matanya.

“Udah bangun, Ka?”

Ia menoleh dan tersenyum saat menemukanku berjalan ke arahnya. Kepalanya mengangguk. Aku duduk di sebelahnya. Merasa sedikit canggung.

“Tumben kamu bangun duluan. Katanya nggak biasa bangun pagi.”

Aku mendengus pelan. “Apaan, sih. Harusnya kamu senang, dong, aku bisa bangun cepat pagi ini, jadi nggak bikin kamu malu di depan Ibu.”

“Iya, iya.”

Aku mengambil handuk dari dalam lemari dan memberikannya kepada Kafka.

“Mandi dulu gih, biar sarapan bareng.”

Kafka menerima handuk dariku sembari menunjukkan ekspresi bingung.

“Sarapan? Kamu yang masak?”

Aku tertawa aneh. “Mama sama Ibu yang masak, aku bantu-bantu aja.”

“Ibu nggak cerewet sama kamu, kan?”

Aku menggeleng. “Ibu kamu baik, kok.” Mana mungkin ibunya bisa cerewet kepadaku saat Mama juga ada di sana. Keberadaan Mama sungguh sebuah keberuntungan. Aku tidak bisa membayangkan jika aku di dapur berdua dengan ibu mertua. Kurasa segala gerakanku pasti diawasinya.

Kafka beranjak untuk mandi. Ia mengusap bahuku sebelum berlalu.

Sesaat kemudian, kami sudah berada di ruang makan. Hanya berempat. Aku, Kafka, Mama, dan Ibu. Siska dan anaknya sudah pulang—mungkin tadi malam. Aku yakin dia tidak mau berlama-lama di rumah karena akan iri melihatku yang baru menikah. Sementara Mas Fajar—kakak laki-laki Kafka—juga pulang lebih dulu, tadi malam bersama istri dan anaknya.

Aku sedikit sedih melihat kekosongan meja makan ini. Papa sudah meninggal, dua tahun setelah bercerai dari Mama. Itu tepat saat aku akan menginjak bangku kuliah. Ayah Kafka juga sudah lama meninggal. Kami sama-sama anak bungsu di keluarga. Kafka punya kakak laki-laki yang tinggal di Jogja—sama dengan ibunya. Dia sudah berkeluarga dan punya dua orang anak. Fakta lainnya, karena Kafka anak bungsu, ia merupakan anak kesayangan Ibu. Kenyataan yang membuatku takut menjadi istrinya.

Kafka pernah bilang kalau ibunya sedikit overprotektif, bahkan sampai sekarang, pada saat usia Kafka sudah tidak muda lagi, tiga puluh dua tahun. Kafka pernah sakit, demam biasa. Namun, ibunya mengusahakan terbang ke Jakarta untuk merawat anaknya. Itu terjadi saat Kafka baru bercerai dari istrinya.

“Kenapa, Bu?” Kafka bertanya ketika mendapati ibunya yang tampak melamun. Aku dan Mama serentak menoleh. Ibu menggeleng, lalu melanjutkan makannya.

“Ibu sakit? Nggak enak badan?” Giliran Mama yang bertanya. Ibu tak menyahut. Gurat wajahnya tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku jadi ikut cemas. Berpikir apakah ada sesuatu yang salah di ruang makan ini. Atau mungkin sikapku yang salah. Tapi, kalau aku penyebabnya, apa yang membuatku salah? Aku malah memikirkan hal lain.

Lihat selengkapnya