Menjadi istri yang baik. Itu adalah tekad baruku sekarang. Namun, kenyataan menyadarkanku kalau hal itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Bangun pagi. Salah satu kebiasaan yang harus kulakukan adalah bangun lebih pagi dari Kafka—yang kutahu tak pernah terlambat sedetik pun dari jam bangun tidurnya. Akhirnya, aku sering keduluan Kafka. Pada hari pertama tinggal satu atap dengannya, Kafka-lah yang menyiapkan sarapan. Tak hanya itu, dia juga menyiapkan baju kerjanya sendiri. Kalau ibu mertua ada di sini, aku yakin pagi itu aku akan mendapat kuliah pagi yang panjang.
Dan, memasuki satu minggu awal, aku tidak berubah banyak. Hanya saja pagi ini aku tak mengizinkan Kafka membuat sarapan. Aku menyuruhnya segera mandi begitu aku terbangun setelah beberapa menit ia bangun. Aku mendorongnya ke kamar mandi dan mengiming-iminginya sarapan spesial.
Masalah! Aku sendiri tak punya ide untuk membuat sarapan. Tapi, demi menekuni profesi sebagai istri yang baik, aku lekas ke dapur. Memikirkan menu sarapan untuk suamiku tersayang.
Isi lemari es yang mulai melompong semakin membuntukan kepala. Hanya ada beberapa butir telur dan sayur brokoli. Aku bisa saja membuat nasi goreng, tapi ingat, Kafka sarapan dengan nasi putih. Akhirnya, aku mengambil jalan pintas. Aku akan menggabungkan lauk dan sayur dalam satu makanan. Entah bagaimana jadinya, setidaknya inilah usaha yang kulakukan. Jadi, Kafka tak berpikir aku istri yang tak tahu apa-apa—walau sebenarnya memang iya … kurasa.
Beberapa menit kemudian, Kafka sudah rapi dengan setelan kemeja berdasi. Kedatangannya membawa serta harum khasnya yang menggoda. Setiap kali menatapnya dengan penampilan seperti ini aku selalu berdebar-debar. Kafka memang paling bisa membuatku merasa jatuh hati setiap hari.
“Ayo, sarapan dulu.” Aku dengan percaya diri menyajikan sarapan buatanku. Kafka terheran melihat telur dadar brokoli di atas meja. Tapi, ia tak mengatakan apa-apa. Ia makan sarapan seperti biasa.
Aku duduk di depannya. Memandanginya menikmati makanan buatanku. Terasa sedikit bangga dan haru. Apalagi Kafka menghabiskan semuanya.
“Gimana sarapannya? Enak, nggak?”
Ia mengangguk sambil tersenyum. Aku lebih merasa senang lagi.
“Kalau enak, besok aku bikinin yang begini lagi, ya. Simpel dan hemat lagi.”
“Iya, terserah kamu aja. Ya udah, aku berangkat dulu, ya.”
Aku mengantarnya ke pintu depan.
“Hari ini aku mau belanja, kulkas udah kosong. Oh ya, aku belanjanya banyak soalnya besok aku udah masuk kantor.”
“Iya. Hati-hati, ya.” Ia mendekat untuk mengecup keningku. Setelah itu Kafka melangkah pergi ke arah mobilnya. Aku memandang sampai ia dan mobilnya melaju pergi.
Pekerjaan Kafka di bank swasta sebagai analisis kredit selalu menyita banyak waktu. Ia akan pulang sangat sore. Setelah ia benar-benar pergi, aku merasa kesepian. Apakah peran semua istri seperti ini? Maksudku, jika mereka memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga tanpa memiliki pekerjaan lain, mereka akan sendirian di rumah setiap hari. Mengerjakan pekerjaan rumah, memasak, lalu menunggu suami pulang untuk melayaninya. Terdengar membosankan.
Aku melihat jam dinding. Mumpung masih pagi, sebaiknya aku pergi belanja.
***
“Kafka itu lebih suka makan sayuran dan biasanya sayur yang baru mateng. Jadi, kamu harus masak sayur beberapa menit sebelum Kafka mau makan. Oh ya, jangan pakai bumbu penyedap. Kafka paling nggak suka rasa yang nggak orisinal.” Aku tersentak begitu akan mengambil salah satu bumbu penyedap dari rak. Dengusan sebal keluar dari mulutku. Dan, di seberang sana ocehan ibu mertua tak ada habisnya.
Sebenarnya, tadi Ibu mengirimiku pesan, sekadar menanyakan kabar. Saat aku bilang kalau saat ini aku tengah belanja bahan makanan, Ibu langsung menelepon dan beginilah akhirnya. Sepanjang aku memilih barang, Ibu “menemaniku”. Tidak bisa kujelaskan sudah berapa banyak larangan yang diucapkan beliau tentang kebiasaan makan Kafka. Aku tahu Kafka memang orang yang memperhatikan kesehatan. Tapi, kalau menuruti keinginannya saja, aku bisa gila. Sementara aku punya pekerjaan lain di samping menjadi istri untuknya. Tidak bisakah semua ini dibuat semudah mungkin? Memangnya untuk apa diciptakan produk makanan dan bumbu instan kalau bukan untuk mempermudah orang-orang sibuk seperti aku dan Kafka? Uh! Bikin sebal saja.
“Oh iya, Lita. Kamu jangan beli ayam dari supermarket, ya. Mending beli di pasar, lebih bagus kalau yang baru disembelih. Lebih terjamin kualitasnya. Kamu tahu lah gimana ayam beku di supermarket, kita nggak tahu dagingnya bagus atau nggak.”
Aku hampir meledak. Pasalnya aku baru saja berniat ke bagian daging untuk membeli daging ayam. Ibu mertua ini seperti tahu saja jalan pikiranku.
“I ... iya, Bu.” Aku mengiyakan saja, tapi tak berjanji akan melakukannya. Kemudian, aku membuat alasan agar pembicaraan selesai. Ibu mertua pun mematikan telepon, lengkap dengan pesan agar aku mengingat kata-katanya barusan. Bagaimana bisa? Bicaranya saja sudah lebih cepat dari penyanyi rapper Eminem.
Dengan sebal aku memasukkan ponsel ke tas, lalu melanjutkan acara belanjaku. Sebagian besar isi troli saat ini adalah bahan makanan rekomendasi dari Ibu. Aku mendengus, lalu mendorong troli menuju kasir. Acara belanja juga harus segera diakhiri, sebelum aku menjadi stres.
Sembari menunggu taksi, aku memijat pelan leherku yang mendadak pegal. Satu kebiasaan jika aku merasa lelah. Di trotoar beberapa pejalan kaki berlalu-lalang. Sekitar tiga perempuan sebayaku melintas. Tampaknya mereka baru saja berbelanja, melihat ada beberapa paperbag di tangan. Zara, Prada, Channel. Mungkin sedang ada diskon.
Ah, aku tiba-tiba teringat kepada Laras, salah seorang sahabat yang minggu lalu memberitahuku soal sale merek-merek itu. Aku yakin Laras dan dua teman lainnya sudah berebut barang diskon dengan gila-gilaan. Hanya aku yang terjebak di sini. Dalam dunia baru sebagai seorang istri.
Sebuah taksi akhirnya berhenti di depanku. Aku menghampiri. Namun, justru tangan orang lain yang menyentuh pintu lebih dulu. Aku terkejut, lalu menemukan seorang laki-laki ketika menoleh ke samping.
“Eh? Maaf, Bu.” Ia tersenyum serbasalah. Mungkin tanpa sadar aku memelotot ke arahnya karena ia seperti akan merebut taksi ini dariku. Tapi kemudian, aku benar-benar sadar tengah membulatkan mata ke arahnya karena ia baru saja menyebutku “Bu”. Memangnya aku setua itu, ya? Padahal, kalau dilihat-lihat dari wajahnya, sepertinya laki-laki ini sebaya denganku. Apa aura keibuanku sudah muncul? Ada-ada saja.
Aku tak menghiraukannya. Bagaimana tidak. Ia sudah membuatku kesal dua kali. Aku mengambil alih pintu dan lekas masuk. Bahkan, aku tak menoleh lagi. Aku meminta sopir membawaku pergi. Rasanya aku butuh membaringkan tubuhku yang gampang lelah ini.
***
Aku pernah dengar, saat suami pulang ke rumah, ada hal yang kemungkinan ingin dilihatnya. Satu, istrinya tercinta. Dua, makanan apa yang disajikannya di rumah. Karena sebelum menikah ia pasti sering makan di luar atau seperti Kafka yang lebih suka memasak sendiri. Aku jadi berdebar menunggunya pulang.
Tidak seperti sarapan pagi tadi, kali ini aku memasak menu lengkap untuk makan malam. Ayam balado, sayur bayam jagung yang masih hangat, serta salad buah. Lumayanlah tampilannya. Tapi, tidak tahu bagaimana rasanya. Aku jarang mencicipi masakanku sendiri. Itu justru membuatku pesimis. Karena saat mengetahui rasa masakan itu tidak sesuai harapan maka aku tidak akan percaya diri lagi untuk memasak. Kebiasaanku kedengarannya memang aneh, ya. Semoga Kafka bisa maklum kepadaku.
Bel berbunyi. Dengan cepat aku meluncur ke depan. Membukakan pintu, lalu menawarkan jasa angkat tas ke dalam. Kafka melewatiku, sepertinya sudah gerah dan ingin mandi. Tapi, pada sore hari menjelang malam ini dia tetap saja menawan. Apalagi kalau rambutnya yang kaku itu diacak-acak. Pasti bikin aku tambah cinta. Eh, aku kok malah mikirin itu?
Akan tetapi, sebentar, Kafka kok kayaknya aneh begini. Kenapa main lewat begitu aja? Tadi aku sempat melihat ekspresi Kafka yang terlihat bingung. Apa ada masalah di kantornya?
Aku menutup pintu depan, kemudian menyusul Kafka cepat. Untungnya ia belum sempat ke kamar mandi. Masih mengendurkan dasi di dalam kamar. Dan benar, wajahnya terlihat tak bersemangat. Seperti begitu lelah.
“Kok, mukanya kusut gitu, Sayang? Ada masalah di kantor?”
Kafka menoleh, agak kaget. Tapi kemudian senyum. Ih, senyumnya jelek. Baru kali ini aku melihat Kafka senyumannya terpaksa begitu. Aku mendekat.
“Kalau nggak ada masalah nggak mungkin, dong, muka kamu kayak ulekan gitu. Cerita, dong.”
Ia tertawa mendengar ucapanku. Sedikit lega melihatnya begitu. Kafka membuang napas. Ia melihatku agak lama sebelum memalingkan wajah. Pinter banget, sih, dia bikin aku penasaran.
“Bukan masalah kantor sebenarnya.”
“Jadi?”
“Ivana, Ta. Dia .…” Ia terlihat ragu-ragu. Cemas.
Hah, Ivana? Mantan istri Kafka yang dokter itu maksudnya? Entah mengapa saat mendengar namanya perasaanku jadi tidak enak. Kurang siap mendengar kalimat selanjutnya.
“Ivana kenapa?” tanyaku.
Kafka tampak resah. Aku jadi khawatir. Apa mungkin terjadi sesuatu di antara mereka? Bicara tentang Ivana, saat Kafka kali pertama mengenalkanku dengannya dalam sebuah pertemuan tak disengaja, aku terkejut. Ivana cantik, anggun, dan keibuan. Bahkan, hanya dengan melihatnya saja aku berpikir betapa serasinya mereka dulu.
Tapi, kenapa Kafka tiba-tiba bicara tentang Ivana?
“Ivana kenapa, Ka?” ulangku.
“Dia minta tolong sama aku.” Kafka memberi jeda sesaat. Berpikir lagi dengan wajah cemasnya.
“Minta tolong apa?” Perasaanku benar-benar tidak enak.
“Dia minta aku jagain Yuga selama dia dinas ke luar kota. Pengasuh Yuga lagi pulang kampung karena ada urusan.”
Tuh, kan! Aku berusaha tenang menanggapi. Padahal, sebenarnya aku kesal. Sejak awal aku memang tidak pernah komplain tentang anak Kafka. Tetapi, haruskah Ivana menitipkannya pada hari-hari kami jadi pengantin baru? Seperti tidak ada tempat penitipan anak saja. Atau Ivana sengaja, ya?
“Kamu tahu, kan, gimana Yuga, dia suka nggak betah sama orang baru, lingkungan baru. Ivana nggak mungkin menitipkan dia di tempat penitipan anak.” Seolah mengerti jalan pikiranku, Kafka menyambung. Aku masih mempertahankan senyum terpaksa. Mengerti kalau aku memang tak bisa menolak permintaan itu.
“Atau … aku minta Ibu ke sini, ya? Besok kamu udah mulai masuk kantor, kan? Nanti kamu jadi repot.”
APA? Ibu? Aduh, plis jangan!
“Nggak perlu, Ka. Biar aku aja yang jaga. Kalau bawa anak kecil ke kantor aku pasti nggak apa-apalah. Cuma sehari aja, kan.” Aku tertawa hambar. Jangan sampai Kafka meminta ibunya yang rewel itu datang ke sini. Bicara lewat telepon saja membuatku pusing, apalagi jika beliau ada di sini. Bicara secara langsung denganku. Belum lagi jika melihatku mengurus anak Kafka. Bisa-bisa aku mendapat kuliah gratis lagi, lengkap dengan wejangan panjang yang tidak akan habis dalam satu hari.
“Kamu nggak apa-apa? Emang kantor kamu kasih bawa anak kecil?”
Untuk yang satu itu aku, sih, tidak tahu. Tapi, daripada Kafka repot-repot meminta ibunya datang dari Jogja.
“Kalau terpaksa mungkin nggak apa-apa, deh, Ka.” Aku sendiri tak yakin, tapi biarlah. Urusan meminta izin bos nanti saja aku pikirkan. Dan, jangan dulu membayangkan wajah sengit bosku yang berlipstik tebal itu.