Apa benar aku terlalu berharap kepadamu?
~Eira Rosemary Ningrum
Seusai menjalankan salat isya, Rose hanya berguling di ranjang bersprei motif garis. Berguling ke kanan lalu kiri, sembari sesekali mengerutkan kening dan tersenyum sendiri. Untungnya Rose sedang sendiri, jika tidak dipastikan ia akan disebut orang gila.
Ia masih saja memikirkan perkataan Sang ibunda. Apa benar Alfan yang memintanya?
Ia kembali tersenyum dan memeluk gemas guling saat mengingat kembali perkataan Sarah.
Ia bisa merasakan saat ini pipinya sedang memanas. Rose tentu merasa senang, tapi ada satu pertanyaan yang masih bergentayangan di kepalanya.
Jika Alfan memang menyukainya, kenapa ia tidak berusaha mengungkapkannya pada Rose? sampai sekarang Rose sama sekali tidak tahu apa jawabannya, walau ia sudah berpikir dengan keras.
Apa salah satu alasannya karena tidak ingin berpacaran?
"KAK!!!"
Sebuah suara remaja lelaki tiba-tiba saja membuyarkan lamunannya. Rose yang terkejut langsung tersentak. Rose sempat mengelus dadanya sebelum bangkit terduduk.
"Ihhh, paan sih?!!" Rose melempar guling yang tadi sempat ia peluk mesra.
"Dik Satya! kamu bisa nggak sih, kalo masuk kamar kakak tuh ketuk pintu dulu!! kebiasaan deh," Ucap Rose marah, mata indah yang tak terlalu lebar itu kini sedang memelototi seorang remaja yang berdiri diambang pintu kamar bernuansa pink pastel.
"Ya maap kak, aku cuman takut kakak kerasukan tadi. Salah siapa senyum-senyum sendiri!!"
Lelaki bernama lengkap Satya Rama Pramudipta itu hanya bisa membalas lempeng ucapan kakaknya yang galak bin judes. Satya hanya akan kalah dengan dua orang perempuan. Yang pertama pada Sarah Qairunita, ibunya. Dan yang kedua Eira Rosemary Ningrum, kakaknya.
"Kak pinjem spidol hitam dong, buat gambar," Satya menunjukkan sebuah buku gambar A4 yang ada ditangan kanannya.
Rose memutar matanya malas. Kenapa adiknya ini selalu mengganggunya di saat yang tidak tepat?
"Tuh ambil aja di dalam tas yang ada di meja belajar," tunjuk Rose setelah kembali berbaring. Sebelum melanjutkan langkahnya, Satya terlebih dulu mengambil guling yang tergeletak di lantai lalu melempar asal pada Rose.
"Aduh!" Rose mengaduh saat guling itu tepat mengenai wajahnya. "Dasar, Satya adik less akhlaq!"
Satya sama sekali tak menggubris omelan kakaknya, hal seperti itu sudah mereka anggap sebagai candaan antar saudara. Jadi perkataan Rose sama sekali tak ia masukkan ke dalam hati.
Satya yang sudah menemukan apa yang ia cari hendak pergi dari kamar kakaknya. Tapi sebelum itu Rose memanggilnya.
"Dik!"
"Apa?"
"Aku mau tanya dong?" Rose bangkit terduduk lalu menggeser sedikit tubuhnya ke bibir ranjang agar bisa berhadapan dengan Satya yang masih berdiri menunggu. Ia ingin menanyakan sesuatu yang masih terasa mengganjal di hati.
"Tanya apa, cepetan kak aku sibuk!" ucap Satya mengetuk-etuk buku gambarnya.
Sebelum bercerita Rose sejenak menghela nafas berat.
"Menurutmu aja nih, kan ada temenku yang lagi suka sama cowok. Nah, ternyata cowok itu punya penggemar lain, terus penggemarnya itu minta bantuan sama temenku buat deketin dia sama cowok itu. Tapi temenku nggak mau, menurutmu temenku egois nggak sih?"
Satya tersenyum miring, ia tahu siapa yang kakaknya maksud. "Itu TEMEN-nya kakak apa KAKAK?" goda Satya menaik turunkan alisnya.
"Ah, bu-bukanlah." Ujar Rose sewot. Ia jadi gelagapan sendiri, sudah tahu tidak bisa menyembunyikan rahasia dari adiknya. Malah sekarang ia belajar berbohong.
Rose memalingkan wajah, berusaha agar tatapan matanya tak bertemu dengan mata Satya yang terlihat sedang menelisiknya lebih dalam. Rose juga berpura-pura meluruskan rambut hitam legam yang menjuntai hingga ke punggungnya. Ia tak ingin kebohongannya terbongkar dulu.
"Udahlah kak, nggak usah bohong dari aku. Dosa lho entar," Satya mendekati Rose kemudian ikut duduk di sisi kirinya.
Semenjak kecil hingga sekarang, Rose memang tidak mempunyai bakat untuk berbohong. Apalagi jika sudah berhadapan dengan Satya, terbongkar sudah semua rahasia yang disimpannya rapat-rapat. Tapi jika begitupun, Satya tetap menyimpan rahasia Rose dengan baik. Tak sekalipun ia akan mengatakannya pada orang lain, kecuali kedua orang tuanya.
"Siapa juga yang boong?!" Satya menggelengkan kepalanya tak percaya menatap Rose. Kakaknya ini tetap saja bisa berlagak galak padahal sudah tertangkap basah.
"Ini tentang kak Alfan kan?"
Bomb
Pertanyaan Satya itu tepat mengenai sasarannya. Rose terdiam mematung. Bagaimana adiknya ini bisa mengerti isi hatinya?
"Kenapa lagi sih kak sama dia?!" tanya Satya dengan nada gemas. "Kan udah pernah aku bilangin kak ... jangan serahin dulu hatimu itu sama cowok yang bukan mahram!"
Rose tertunduk lesu. Rose bukanlah orang yang tak tahu menahu soal agama, ia tahu betul apa maksud ucapan Satya.
"Aku nggak pacaran kok sama Alfan!!" ucap Rose sewot, ia mengangkat kepalanya tinggi.
"Kalian emang nggak pacaran, tapi apa kalian berdua sadar kalo perilaku kalian itu kayak orang pacaran!! kadang aja aku lihat sendiri pas kak Alfan ngelupain batasannya sebagai lelaki non mahram sama kakak!"
Rose tertegun mendengar penuturan Satya. Ingatannya seakan memutar kejadian lama bersama Alfan yang tiba-tiba terlintas dengan cepat. Kejadian demi kejadian dari masih berseragam merah putih hingga sekarang, bahkan kejadian siang tadi saat di mushala tak luput dari memorinya.
Rose kini kicep di hadapan Satya. Ia tak bisa membantah perkataan adiknya seperti yang sebelum-sebelumnya. Satya benar.
"Nah, menengkan saiki! ra iso bantah meneh, sukur!! (Nah, diemkan sekarang! nggak bisa bantah lagi, sukurin!!)" cibir Satya dengan logat jawanya yang kental. Sedang Rose kembali tertunduk, ia merapatkan bibirnya, membisu. Lidahnya terlalu kelu untuk membalas perkataan Satya.
"Kamu masih pengen tahu kan kak apa jawabanku?" Rose melirik sinis pada Satya, senyum kemenangan dalam debat tadi masih tercetak jelas di bibirnya. Rose memalingkan wajah, ia sudah kehilangan selera untuk curhat dengan Satya.
"Maaf ya kak sebelumnya, kalo aku terlalu jujur, tapi kakak egois," Rose membelalakkan mata kaget lalu secepatnya menoleh ke arah Satya. "Egois dalam KBBI artinya mementingkan diri sendiri."
Satya yang sudah tahu mendapat tatapan tajam dari kakaknya bersikap tak peduli, ia tetap melanjutkan apa yang ingin dia katakannya. "Kak aku jujur sebagai adikmu, kakak tahu kan kenapa kritik yang paling bagus bisa didapat dari keluarga? karena keluarga itu nggak akan pernah berpura-pura didepanmu. Mereka akan selalu bersikap apa adanya."
Satya memberikan senyum termanisnya, tentunya agar Rose tidak marah.