Gadis itu perlahan kembali masuk menggeser pagar hitam legam dengan ekspresi yang masih sama, heran bimbang aneh, semuanya terukir di wajah Alisya sekarang, apa yang Ali sembunyikan kali ini?, apa perlakuannya itu mempunyai motif?, apa maksud yang terselubung dari senyum manisnya yang langka hanya untuk Alisya seorang?, ada apa dengan dirinya?. Kenapa-kenapa dan kenapa?, semua pertanyaan yang mungkin lebih banyak lagi yang ingin ia tanyakan langsung dengan cowo gila tak waras itu membuatnya semakin lama semakin penasaran.
Gadis itu kembali melangkahkan kedua kakinya kembali ke depan pintu masuk rumah berwarna putih bersih ukir, membukanya perlahan, menuju anak tangga sekitar kurang lebih empat puluh anak tangga yang gadis itu lewati saat ini menuju pintu kamar berwarna putih ukir pula, dimana di sana terdapat singgasana Alisya yaitu kasur tercintanya, Alisya kembali menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuk miliknya dengan kaus kaki yang masih di pasang di bagian kanan dan kiri kakinya. Gadis ayu itu pun bangkit segera mengganti pakaian sekolahnya dengan pakaian biasa, berjalan perlahan ke arah kamar mandi membuka keran dan mencuci wajahnya melihat ke kaca kamar mandinya, kembali di pertanyakannya pertanyaan seputar Ali berputar-putar di kepalanya. Alisya kembali mengingat perlakuan Ali yang amat meresahkan itu dari yang mencubit pipinya, menggodanya, mengelus puncak kepalanya, yang ada di pikirannya kini hanya seputar Ali, perilakunya, seberapa misterius dirinya, hanya Ali dan Ali.
"Arghhh...bisa gila aku, kenapa kepikiran cowo nggak waras itu sih?!" Alisya memegangi kepalanya dengan kedua tangannya berdecak sebal karena yang di pikirannya hanya Ali, kenapa tidak orang lain saja?. Alisya mengelap wajahnya dengan sapu tangan yang terdapat di kamar mandinya, kembali melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi miliknya, kembali menatap keluar pintu geser kaca yang ada di depan teras kamarnya, langkah kakinya berbelok keluar dengan pasti ia menatap bulan sabit pada malam itu kembali, melihat seberapa indahnya bulan saat itu, langit cerah padahal itu malam hari, angin sepoi-sepoi menerpa wajah indah milik Alisya. Alisya menutup kedua matanya, membayangkan sesuatu yang indah, di mana ada kebahagiaan yang tentram di sana, suasana yang dari dulu Alisya dapatkan, betapa tenangnya suasana saat itu. Seketika suara ketukan pintu kamarnya terdengar jelas oleh gadis yang menikmati malam yang damai itu.
"Mbak Ica, mbak Ica udah makan?" ucap wanita paruh baya dari luar kamar Alisya mengetuk kamar gadis ayu itu pelan dengan nada lembut ciri khasnya.
"Udah bi" Alisya sedikit meninggikan intonasinya.
"Bibi izin masuk ya mbak" ujar wanita paruh baya itu meminta izin dari Alisya agar masuk ke kamar gadis itu sekarang.
"Iya bi" Alisya meng-iyakan perkataan wanita paruh baya itu dengan cepat tanpa berpikir panjang, bibi nya sudah menjadi seperti orang tua bagi Alisya, wanita paruh baya yang bekerja di rumah Alisya selama bertahun-tahun itu selalu bekerja dengan giat demi menghidupkan anak nya yang sedang kuliah saat ini.
"Mbak, bibi mau nanya boleh nggak?" tanya wanita paruh baya itu ke arah Alisya.
"Boleh bi, tanya apa?" Alisya kembali bertanya mengangkat kedua alisnya.
"Anu mbak, tadi itu siapa ya yang teriak-teriak di depan pager, cowo kayaknya ya?," tanya wanita paruh baya itu membuat Alisya kaget, lantaran memang Ali berteriak dengan suara bassnya yang dapat di dengar oleh satu rumah bahkan tetangga pun dapat mendengarnya.
"Dan lagi mbak, mana pak Tono?, kok nggak ada?, biasa jaga di depan" tanya wanita paruh baya itu kembali sembari melihat ke bawah, kepalanya menoleh kanan dan kiri secara bergantian keheranan.
"Itu bi Ijah, yang tadi temennya Ica bi, kalau pak Tono lagi keluar katanya anaknya sakit bi, sebentar aja kok bi nggak lama ntar balik lagi" Alisya memastikan bi Ijah menatap wanita paruh baya itu sembari tersenyum ke arahnya dengan tatapan lembut milik gadis manis itu.
"Oh, begitu ya mbak. Mbak nggak tidur sudah malam mbak" wanita paruh baya itu menatap Alisya khawatir.
"Iya bi, ini Alisya mau tidur" Alisya membalas tatapan cemasnya dengan tatapan yang membuat bi Ijah tenang seketika.
"Ya sudah kalau begitu mbak, bibi keluar ya mbak" bi Ijah menepuk pundak Alisya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu kamar Alisya dan menutup pintu kamarnya pelan. Alisya yang kaget panik setelah wanita paruh baya itu menanyakan tentang cowo tak tahu malu yang berteriak malam-malam di depan rumah Alisya tersebut membuat Alisya merasa ingin menghilang saja dari dunia. Alisya yang di kenal jauh dari kata lelaki kini mendengar kata laki-laki yang mendekatinya seakan membuat gadis itu benar-benar tak terbiasa, orang yang melihat Alisya dekat dengan lelaki pun menjadi bahan gosipan yang hangat seperti sekarang ini, pasti besok menjadi perbincangan hangat antara Alisya dan Ali perihal perilaku Ali yang terus terang ini ia panik melihat Alisya pingsan saat di hukum di lapangan luas sekolahnya. Alisya mengalihkan pikirannya kembali memghempaskan tubuhnya di ranjang empuk yang menjadi singgasana gadis itu, menggeliat ke kiri melihat bulan sabit dengan indahnya terpancar dari balik pintu geser kaca Alisya. Perlahan menutup matanya yang sudah mengantuk karena banyak kejadian hari ini yang tak terduga membuat Alisya sangat lelah dengan hari yang panjang bak jalan kenangan.
"Bulan itu misterius, kenapa bisa ia menyinari di gelapnya malam?, sama sepertimu Ali Julian Gernand, kamu bertahan padahal aku sudah menolakmu, kamu aneh" Alisya menggigau perlahan memejamkan kedua matanya yang sudah siap bertemu mimpi sekarang.
🍁🍁🍁
Cerahnya mentari mulai menyinari pagi nan indah, sinar yang terpancar dari balik pintu geser kamar milik gadis yang sudah siap memakai seragam sekolahnya siap turun ke bawah mencium aroma nan lezat dari lantai satu rumah gadis ayu itu. Segeralah ia melangkahkan kaki terburu-buru dengan sigap mengambil piring berwarna putih bersih lengkap dengan sendok dan garpu yang gadis itu ambil. Gadis itu menyodorkan piringnya kepada Bi Ijah memelas.
"Bi, belum siap ya?" tanyanya memajukan bibir tipisnya dengan wajah memelas.
"Belum mbak, di tunggu ya, di taruh aja dulu piringnya mbak nanti bibi taruh di meja makan" Bi Ijah masih sibuk memasak soto ayam yang Bi Ijah buat sama miripnya dengan uminya. Alisya melangkahkan kedua kakinya lesu karena ia yang sudah sangat lapar, di tambah lagi aroma soto ayam yang menggugah selera membuat perut Alisya semakin lapar. Alisya pun duduk di bangku berwarna putih itu dengan meja makan yang berwarna putih pula, hampir semua furnitur dari rumah Alisya berwarna putih.
Ping