Rumah itu berdiri megah di tengah kompleks elit Citraland, Surabaya Barat. Suasana perumahan itu selalu tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota di luarnya. Arsitekturnya bergaya klasik Eropa dengan pilar-pilar menjulang tinggi di beranda depan, dan dihiasi lampu-lampu taman yang menyinari jalan paving berpola. Gerbang hitam dari besi tempa terbuka otomatis ketika sedan hitam milik Raka Gunawan mendekat, lalu tertutup di belakangnya ketika mobilnya sudah memasuki halaman luas rumah itu.
Terlihat pukul 19.12 dari jam yang berada di dasbor. Terlambat dua belas menit dari janji temu. Bukannya mempercepat laju mobil, dia lebih memilih masuk perlahan ke dalam lingkungan yang pernah menghiasi masa kecilnya. Yang kini terasa lebih asing daripada gedung kantor, tempat dia menghabiskan tujuh puluh jam seminggu.
Ketika dia turun dari mobil, hawa panas khas Surabaya langsung menyambut. Angin tipis berhembus dari taman kecil di samping rumah, aroma bunga kamboja dan … sambal. Tidak mungkin itu berasal dari rumah tetangga, pasti itu berasal dari arah dapur.
Pintu rumah dibuka oleh Sri Mulyani, asisten rumah tangga yang sudah sekian lama melayani mereka. Mulai dari Raka masih menginjak sekolah dasar, hingga sekarang. Selalu ada hingga usia tua menghiasi rambut hitamnya.
“Tuan Raka, selamat datang.” Sri menyapa dengan senyuman khasnya, dengan sedikit membungkuk.
“Papa dan Mama?” tanya Raka singkat.
Sri menatap sejenak terasa teralihkan dengan perubahan dari tuan muda yang selalu dilayaninya. Biasanya setiap kali kembali ke rumah, dia akan sedikit berbasa-basi dengan dirinya sejenak sebelum menanyakan keberadaan nyonya dan tuan.
Selain itu, tampilan Raka juga jauh lebih rapi dari kebiasaan dia berpakaian. Saat itu, dia mengenakan kemeja biru muda dengan lengan panjang yang tergulung rapi. Tubuhnya jauh lebih tegap, tapi wajahnya tidak dapat menyembunyikan kelelahan.
Raka menunggu jawaban lewat tatapan matanya.
Sri cepat menimpali. “Nyonya sudah menunggu di ruang makan, sedangkan Tuan masih berada di ruang baca.”
Raka hanya mengangguk, lalu beranjak untuk berganti sepatu dengan sandal yang sudah disediakan di foyer marmer. Kemudian dia berjalan masuk ke dalam, langsung ke ruang makan.
Ruang makan keluarga Gunawan memang seperti ruangan dari brosur perumahan mewah, dinding krem pucat yang dihiasi dengan lukisan bunga mawar merah besar. Di tengah ruangan makan itu tergantung lampu gantung kristal, yang menerangi meja makan kayu jati panjang yang berlapis taplak border.
Pada ujung meja, sudah ada seseorang yang menunggu kehadiran Raka. Tara Rismawati, Nyonya Gunawan, ibunya. Dia tampak cantik dengan gaun yang berwarna kuning polos, dan dipadu padankan dengan syal berwarna merah muda bermotif bunga di bahunya. Walaupun terlihat cantik, tapi wajahnya sedang tidak sedap dipandang, ditambah lagi dia sesekali menghentakan jarinya yang ke meja.
Dia paling kesal terhadap orang yang datang terlambat. Dan semakin bertambah, ketika melihat Raka sudah berada di hadapannya. Dia menyeruput teh dari cangkir porselen berpinggiran emas sebelum akhirnya berbicara.
“Kamu terlambat,” katanya tenang, tanpa menoleh pada Raka.
Raka menarik kursi, lalu duduk. Menatap tajam ke arah ibunya yang kini melihat ke arahnya. “Lalu lintas padat,” jawabnya singkat.
“Alasanmu … ckck. Ini karena kamu tinggal sendiri, makanya tidak ada yang mengingatkanmu soal waktu.”
“Ada jam di mobil.” Komplain ibunya tidak diindahkan.
Tara menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. Kelihatan senyum itu memiliki maksud yang mendalam. “Ya, tentu ada. Jam tidak pernah bohong, manusia saja yang suka beralasan.”
Kehadiran Sri meringankan suasana yang tidak menyenangkan antara anak dan ibu. Dia sedang membawa sup jagung dalam mangkuk putih, dan di belakangnya ada pelayan baru yang turut mengantarkan makanan lainnya.
Tidak lama saat meja sedang ditata oleh makanan yang baru saja selesai dimasak, pintu ruang makan dibuka oleh Geraldi Gunawan, Ayah Raka, Pemilik sekaligus Pemimpin GG group. Dia masuk dengan langkah tenang. Bajunya jauh lebih kasual daripada anak dan istrinya. Kaos berkerah berwarna coklat tua dengan celana kain abu-abu.
Walaupun tubuhnya sudah berumur enam puluh tiga tahun, dia masih terlihat gagah apalagi badannya begitu tegak saat berjalan.
Dia duduk di kepala meja, menatap Raka dengan sorot mata yang tajam. Seakan kini dia sedang memimpin rapat pemegang saham.
“Mari makan,” katanya datar.
Mereka menyendok sup tanpa bersuara. Suara sendok beradu pelan, diisi dengan aroma gurih dan rempah yang lembut. Momen ini membuat Raka merasa dejavu, karena dia tahu ini bukan sekadar makan malam biasa. Pasti masalah yang terjadi di tahun-tahun yang lalu itu akan diungkit kembali.
Setelah tiga sendok sup, ibunya meletakkan sendok perlahan.
“Raka … kamu sudah 38 tahun,” ujarnya memulai. Yah, benar seperti yang diperkirakan Raka.
“Masih 37, Ma.”
“Tiga bulan lagi,” timpal Geraldi saat mendengar sanggahan anaknya.
Raka menghela nafas pelan, dan kembali menyantap makanannya.
“Karena itu kamu—”
Geraldi meletakkan sendoknya, lalu memotong perkataan istrinya. “Karena waktumu hampir habis.”
Raka langsung menoleh ke arah ayahnya. Dia tahu betul masalah yang terjadi di tahun-tahun yang lalu itu, ayahnya tidak pernah ikut terlibat. Atau lebih tepatnya, tidak pernah ingin ambil andil. Tapi kali ini tidak, apa yang menjadikan ayahnya ikut campur?
“Waktu untuk apa?”
Untuk sesaat, tidak ada yang menjawab. Lalu Tara bersandar ke belakang, dalam suara yang lembut tapi tajam. “Waktu untuk menjadi suami. Papa. Kepala Keluarga. Dan juga penerus GG group.”
Raka tertawa pelan. “Jadi sekarang ceritanya tentang cucu?”
“Bukan … tapi masa depan,” jawab Geraldi.
“Perusahaan ini merupakan property kita, nama keluarga Gunawan. Semua harus berlanjut. Lagipula kamu anak pertama. Tidak masuk akal, jika kamu tidak menikah.”
Raka meletakkan alat makannya, lalu menatap kedua orang tuanya.
“Lalu kalau aku menolak?”
“Semua warisan akan berpindah ke Andra,” jawab ibunya tanpa jeda. “Dan posisi direksi utama juga.”
Raka terkesiap kecil. “Apa kalian serius?”
Geraldi mencondongkan badan sedikit. “Kita sudah menunggu. Lima tahun sejak kamu putus dengan … siapa namanya?”
“Dita,” balas Tara.
“Ya, Dita. Lalu selama lima tahun itu, kamu hanya tenggelam di proyek, merger, ekspansi. Kerja, tapi hidupmu kosong.”
“Aku tidak butuh istri untuk membuat hidup ‘penuh’, Pa.”
“Bukan soal itu saja. Ini soal garis keturunan,” tambah Tara. “Apa kamu yakin, membiarkan Andra mendapatkan semua bagian yang menjadi hakmu? Biarpun dia seperti itu, tapi dia penurut, loh.”
Keheningan menyelimuti mereka bertiga. Raka sedang berputar otak untuk menerima atau menolak tawaran yang mereka berikan. Kalau ditolak, Andra sangat tidak bisa diharapkan, bila dia menjadi pemimpin GG group.
“Bagaimana kalau kami memberi tenggat?” tambah ibunya kemudian.
Raka bersandar, lalu tertawa kecil. Ini investasi yang paling absurd yang pernah dia dengar selama hidupnya. Tapi dia juga tidak ingin tersaingi oleh adiknya yang tidak berkompeten itu.
“Deadline-nya kapan?”
“Tiga bulan mencari calon,” jawab Tara. “Enam bulan kemudian menikah. Dan setelah itu, kami akan pikirkan kembali kalau kamu sudah memberikan cucu.”
“Jika kamu tidak berhasil. Warisan dan jabatan akan kami alihkan langsung ke Andra. Semua atas nama kelangsungan keluarga Gunawan,” tambah Geraldi. Sorot matanya tampak lebih tegas dari sebelumnya.
“Kalian benar-benar memeras aku pakai sistem keluarga.” Raka menatap marah kepada mereka.
“Kami hanya menyelamatkan garis keturunan,” sahut Tara.
“Tapi ini hidup aku, Ma.”
“Dan kamu bagian dari kehidupan keluarga ini,” kata Geraldi. “Kita tidak dapat hidup sendiri, Raka. Apalagi kalau kamu menjadi seorang pemimpin. Pikirkan itu!”
Asisten rumah tangga, Sri, membawakan puding mangga sebagai pencuci mulut. Dari antara mereka tiada satupun yang menyentuhnya, karena masih terpaut oleh emosi sesaat.
Raka berdiri kemudian. “Aku pulang.”
“Mau pulang kemana? Lebih baik kamu menginap. Ah, tidak! Melainkan kembali tinggal bersama kami.” Suara ibunya terdengar begitu manis, saat meminta anaknya untuk tidak pergi.
“Rumahku jauh lebih tenang daripada di sini,” ucapnya pelan. Dia menaruh serbet di meja, lalu meninggalkan mereka berdua yang sedang berbalas pandang.
“Apa kamu yakin ini cara yang paling baik?” Tanya Geraldi pada Tara.
“Bukankah kita berdua ingin dia menikah dan menjalani perusahaan?”
Geraldi menghela nafas panjang, menatap lesu istrinya.
Tara menyentuh tangan Geraldi. “Ayolah ... Andra masih perlu waktu. Dia juga belum mampu diberi tanggung jawab besar.” Matanya terlihat berbinar, dan tersenyum ceria. “Dan aku yakin, sayang. Raka bakal menerima tantangan kita.”
“Semoga …”
“Cepat sekali putus asa,” ujar Tara sambil menggelengkan kepalanya.
Dari balik dinding ruang makan tersebut, ada seseorang yang sedang mendengar pembicaraan mereka.
“Tuan Andra—” jari telunjuknya langsung menghentikan Sri berbicara.
Ternyata yang sedang mendengar pembicaraan Tara dan Geraldi adalah anak mereka yang kedua, Andra Gunawan. Anak bungsu, yang paling bertolak belakang dari kakaknya. Dia sudah datang, setelah melihat kakaknya meninggalkan gerbang utama perumahan tadi.
“Saya mengerti, Bu. Biarkan mereka selesai berbicara dulu, setelah itu saya akan masuk. Jadi lebih baik, anda melanjutkan pekerjaan.”
“Baik, Tuan.”
Andra kembali memperhatikan kedua orang tuanya, yang kini sudah membicarakan hal lain. Dan setelah itu, dia berjalan pergi ke kamarnya, yang berada di lantai atas tanpa menyapa mereka.
“Kenapa mereka selalu memaksa kakak untuk cepat-cepat menikah?” Tanya Andra saat merebahkan diri ke tempat tidur. “Apa mereka punya rencana yang tidak aku ketahui?”