Pusat perbelanjaan terbesar kedua di kota Surabaya, di kala sore itu terlihat lebih rame dari hari biasanya. Apa mungkin karena minggu ini waktunya gajian?
Tampak anak muda-mudi memakai outfit modis, duduk bersama membahas kehidupan muda mereka. Beberapa pasangan muda berjalan sambil berpegangan tangan, seperti dunia hanya milik berdua. Suara musik dari toko baju menyatu dengan aroma kopi dan parfum mewah.
Laras berdiri di depan toko buku, menatap pantulan dirinya di kaca etalase. Blus putihnya kusut sedikit di pinggir lengan, jeansnya bukan model terkini, dan sepatu flat hitamnya sedikit lecet di sisi kanan. Dia menarik nafas dalam, lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
“Kamu datang ke sini bukan buat naksir dia,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kamu datang buat dengar ... seberapa gilanya orang ini ... dan demi uang untuk bertahan hidup.”
Dia menoleh ke arah kafe kecil di pojok, separuh tersembunyi dari lalu lintas utama pengunjung mal. Tempat itu cukup tenang, ada sofa abu-abu di dalam, lampu gantung dengan bola-bola kaca kecil, dan tanaman hias di tiap sudutnya. Meja-meja berisi pasangan, dan juga ada orang-orang yang membuka laptop sembari menyeruput kopi.
“Dia belum datang juga?” Gumamnya kesal sambil melihat kembali pesan dari Raka.
“Saya akan tiba disana, jam 18.45.” Dan jam sekarang sudah merujuk jam 18.40.
Dia memutuskan untuk masuk ke dalam kafe itu, matanya mencari tempat yang kosong di sudut ruang tersebut. Ternyata hanya dua kursi di bagian tengah ruangan itu yang bisa ditempati, dia menaruh jaketnya di meja, dan pergi memesan.
Sambil menunggu, Laras mengambil ponsel dan mulai iseng mencari nama ‘Raka Gunawan Surabaya’.
Beberapa detik kemudian, layar menampilkan artikel-artikel bisnis. ‘Raka Gunawan, Direktur Operasional PT GG Propertindo’, ‘Ekspansi Properti Surabaya Barat Dipimpin Anak Muda Cerdas’, ‘CEO Muda, Belum Menikah, Pendiam, Tegas.’
Laras membaca perlahan.
Bukan penipu. Bukan gila. Hebatnya, dia punya perusahaan. Terkenal. Tapi mengapa pria seperti itu meneleponnya dan ... menawarkan ide pernikahan kontrak?
Ia membuka profil media sosial. Tidak banyak. Akun Instagram-nya kosong. Bahkan platform profesionalnya terbaca formal, penuh dengan kata-kata seperti ‘pengelolaan aset’ dan ‘integrasi strategis.’
Lalu ketika ingin melihat fotonya, ada suara yang memanggilnya dari arah belakang.
“Nona Laras Aulia?”
“Iya,” jawab Laras sambil memalingkan wajahnya ke sumber suara yang memanggilnya.
Seorang pria ganteng sedang berdiri di belakangnya, yap, dialah Raka Gunawan, menatapnya penuh tanya apakah orang yang diajak bertemu ini benar dia yang sedang berdiri di depannya.
Kedua mata Laras terbuka dua kali lipat ketika melihat Raka dari atas ke bawah. Dia mengenakan setelan jas yang terlihat sangat fancy. Rambut hitam yang tertata rapi, dan harum.
“Wow!” Mulut Laras terbuka lebar. Lalu melirik ke kiri dan kanan, hanya dialah pria yang sedang mengajak dirinya berbicara.
"Dia terlihat menawan.” Pikirannya kembali mengagumi kegantengan Raka yang paripurna itu.
Raka menatap Laras dengan seksama, “apa benar anda Nona Laras Aulia?”
Laras menganggukkan kepala, “ya … silahkan duduk.” Matanya tidak berkedip sampai Raka duduk di hadapannya.
Dia masih tidak percaya dengan ekspektasi yang ada di depan matanya. Dikiranya, Raka adalah pria yang biasa saja dan tidak seganteng itu. Setelah melihat penampilan Raka, dia menghela nafas pelan. Dia khawatir, pasti Raka akan kecewa.
“Tahu begitu, tadi aku berdandan sedikit.” Dia mengelus bagian lengan bajunya yang tidak rapi. “Atau mungkin, mengganti baju.”
Pikirannya sibuk memarahi dirinya sendiri. Tapi Raka sibuk memperhatikan ke sekelilingnya. “Saya tidak menyangka kalau ada kafe di sini,” ucap Raka yang sedang memeriksa kebersihan meja dengan kedua jari.
“Ya.”
Pelayan datang membawakan minuman Laras, dan sebelum pergi dia menanyakan minuman apa yang ingin Raka pesan.
“Espresso double.”
Memang penampilan bisa merubah cara orang melayani ataupun gaya orang berbicara. Apalagi kalau dia memiliki perawakan yang cantik atau ganteng, seberapa buruk orang itu, mereka tetap memiliki pandangan baik dan peduli terhadapnya.
“Saya kira anda tidak akan datang,” ucap Laras memulai pembicaraan di antara mereka.
Raka menunggu pelayan itu pergi, lalu mengeluarkan map tipis dari tas kulit hitam di sebelahnya. “Maaf, saya terlambat 2 menit. Karena ada rapat mendadak tadi.” Diletakkan di atas meja, lalu dibuka seperti akan memulai presentasi bisnis.
“Apa ini?”
“Ini draf awal. Kita bisa negosiasi, setelah anda membaca.”
Laras mengangkat alis. “Cepat sekali. Kita belum saling mengenal, tapi anda sudah menyuguhi file?”
“Saya tidak suka membuang waktu.”
Laras menyandarkan punggung, lalu menatap Raka lebih seksama. Dari dekat, wajah Raka tidak sejahat yang dia duga. Mata coklat gelapnya yang tajam, terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Bibirnya nyaris tidak pernah tersenyum. Dia tampak seperti orang yang tidak tahu caranya bersantai.
“Apa seperti ini cara anda berbicara?”
“Apa maksud anda?”
“Terlihat seperti robot.”
Kembali pelayan mendatangi meja mereka, membawakan minuman Raka. Setelah meneguk beberapa kali minumannya, dia membalas ucapan Laras.
“Saya tidak peduli dengan penilaian anda, yang saya pedulikan … apakah anda menyetujui isi yang di map tersebut?”
Laras menarik map ke arahnya, membuka lembar pertama. Membaca isi kertas itu, yang berisi kontrak.
‘Perjanjian Sementara Kerja Sama Hubungan Personal Non Legal untuk Kepentingan Representatif Keluarga.’
Laras langsung mendecak. “Judulnya saja sudah kayak seminar pajak,” lirihnya sambil melihat ke arah Raka yang sedang membalas pesan kerja yang sempat tertunda.
Dia membaca pelan-pelan.
Ada klausul tentang durasi. ‘3 bulan, bertemu dengan keluarga. 6 bulan, menikah.’
Hak dan kewajiban. ‘Biaya hidup ditanggung penuh oleh pihak pertama. Pihak kedua tidak boleh bekerja selama masa kontrak, tapi akan mendapatkan uang bulanan sebagai gaji, sebesar lima juta rupiah. Pihak kedua mendapat tunjangan pakaian. Pihak kedua mendapat jatah dua hari libur per bulan untuk ke rumah ibunya, setelah menikah.’
Setelah kontrak selesai. ‘Pihak kedua akan diberikan sebesar lima miliar rupiah.’
Setelah selesai, dia menutup map, dan mulai bernegosiasi. “Seperti yang anda tulis di bagian akhir kertas itu, ada imbalan uang sebesar lima miliar …”
“Iya, benar. Apa kurang?”
Laras menarik nafas, dadanya terasa berat. “Itu sudah sangat cukup buatku untuk hidup ratusan tahun,” seru otaknya.
“Tidak, itu sudah lebih dari cukup."
Dia menganggukan kepala, tanpa lepas memandangi Laras.
“Baik, saya setuju.” Tangannya langsung dijulurkan ke depan Raka.
Raka menatapnya sejenak, lalu menyambutnya tanpa senyum. “Oke.”
“Kapan kita mulai?” Tanya Laras, lalu meminum minumannya.
“Hari ini.”
Laras tersedak oleh minumannya, “heh? Apa? Kenapa tidak mulai besok lusa saja?”
“Kesepakatan sudah disetujui, lalu mau menunggu apa lagi?”
“Yah, anda benar.”
“Saya akan menyusun kembali kontrak ini, sebelum kita menandatangani bersama besok.”
“Oke.”
Laras menyandar tubuhnya ke kursi, sambil menatap Raka yang sedang memasukkan map ke dalam tas.
Matanya menyipit sedikit, “apa anda tahu?” Raka menatapnya balik. “Dari semua ini … yang paling aneh adalah anda merasa ini masuk akal.”
“Ini bukan soal masuk akal apa tidak? Ini solusi.”
“Kalau anda butuh solusi, anda bisa membayar orang dari hire agency. Atau pura-pura pacaran sama cewek influencer. Mereka lebih siap untuk ‘peran’ seperti ini.”
“Saya tidak percaya dengan dunia palsu yang dirancang di depan kamera.”
Laras menatapnya lama. “Lalu kenapa anda percaya akan … hubungan yang anda rancang sendiri.”
Raka terhenyak sesaat. Pertanyaan itu seperti anak panah kecil yang mengenai titik tak terduga di dadanya.
“Karena kalau saya yang merancang, saya tahu batasnya,” jawabnya. “Saya tahu sejauh apa hal ini harus berjalan. Saya juga tahu kapan harus selesai.”