Marsha berjalan menuju ruangan kantor kepala sekolah, hari ini ia akan melakukan test pembacaan Iqro lima untuk lanjut menuju tingkatan Iqro enam. Tiga bulan lagi kelulusan sekolah TK-nya. Jika ia tidak menyelesaikan Iqro enam, maka ia tidak bisa mengikuti wisuda.
“Assalammualaikum Marsha, bagaimana kabarnya?” Tanya kepala sekolah yang usianya sudah 54 tahun itu. Setiap kenaikan level bacaan Iqro di sekolahnya setiap siswa akan diuji langsung oleh kepala sekolah.
“Waalaikumsalam Bu,” ucap Marsha yang sedikit merasa gugup.
“Masyaa Allah, pinter ya udah mau Iqro enam, ibu doakan Marsha bisa ikut wisuda,”
Marsha hanya terdiam, ia masih merasa takut jika tidak lulus.
“Yuk boleh dimulai, baca bismillah dulu ya Nak,” perintah kepala sekolah itu dengan lembut sambil tersenyum.
Marsha memulai membaca bismillah. Ia pelan-pelan membaca Iqro dibagian halaman terakhir. Bacaannya beberapa kali salah, namun secepat mungkin ia sendiri yang mengulang untuk memperbaikinya.
“Ya Bagus. Marsha lulus. Bisa dilanjut ke Iqro enam ya,” ucap kepala sekolah sambil tersenyum. Seketika Marsha tersenyum lebar dan hatinya merasa lega.
Setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, Marsha berjalan menuju kelasnya untuk mencari Shofiya, ia ingin memberi tahu gurunya itu bahwa ia sudah bisa melanjutkan bacaannya ke Iqro enam. Namun teriakan seorang gadis seusianya sejenak menghentikan langkah Marsha.
“Marsha,” teriak Yana sambil menghampiri Marsha
“Gimana? Kamu lanjut iqro enam?” Tanya Yana penasaran.
Marsha tersenyum sambil mengangguk.
“Sekarang kamu mau kemana?” tanya Yana kembali.
“Cari ustadzah Shofiya,” jawab Marsha.
“Kita liat yang lagi latihan nari aja yuk!” Ajak Yana dengan penuh semangat.
“Ayuk!” Ucap Marsha merasa semangat, karena ia juga memiliki hobi menari, walaupun tidak pernah sekalipun tampil di atas panggung.
Marsha dan Yana berjalan menuju kelas yang di dalamnya terdapat beberapa susunan meja yang dijadikan sebagai panggung latihan. Di panggung sudah ada empat orang siswa seumuran Marsha dan Yana sedang melakukan gerakan tarian diiringi dengan musik anak-anak.
🎶 Nenekku tak pernah marah, Kakekku tak pernah marah, aku selalu di manja kalau terlambat sekolah, Rajinlah belajar, supaya kau pintar,na...na....nasihat. Kakek Nenek...🎶
Lagu itu mengiringi tarian Mili , Ketty, Friska , dan Sharen. Mereka adalah anak-anak dari mamah muda yang terkenal sosialita di sekolah Marsha dan Yana.
“Kok mereka lagi sih yang nari?” Celetuk Marsha tanpa disadarinya.
Setiap ada acara di sekolah, Mili, Ketty, Friska, dan Sharen tidak pernah absen di atas panggung.
“Iya dong. Kamu juga mau nari di atas panggung gitu?” Tiba-tiba Mama Sharen sudah berada di belakang Marsha dan Yana.
“Mau Tante,” teriak Marsha dan Yana kompak.
“Kamu Yana udah pasti gak bisa gabung sama Kita, soalnya kamu itu dari keluarga miskin. Bisa sekolah disini aja dibiayai sama Mamanya Marsha kan? Kalau Marsha boleh sih gabung, tapi dengan syarat Kamu dan Mamamu jangan deket-deket sama keluarga si Yana ini dan satu lagi Mamamu harus bisa kumpul-kumpul bareng Kita,” ucap wanita yang berusia 31 tahun itu dengan sinis.
“Astagfirullah Ratu, Kamu ini keterlaluan ya beraninya menghina anak kecil dan mempengaruhi mereka dengan hal negatif,” ucap Mita yang mendengar percakapan Ratu yang merupakan mama dari Sharen.
“Iya nih tante Ratu jahat banget, masa Aku boleh ikut nari, asalkan gak boleh temenan sama Yana, karena miskin,” ucap Marsha dengan polosnya.
“Denger ya Ratu! Allah tidak menilai seseorang dari paras maupun harta, tapi Allah melihat Kita semua dengan iman,” nasihat Mita kepada Ratu, lalu segera pergi.
Mendengar ucapan Ratu bahwa dirinya seorang yang miskin, Air mata Yana tiba-tiba tumpah tidak terbendung. Sedangkan Mita segera menggendong Yana anaknya dengan satu tangan, lalu tangannya yang lain menggandeng Marsha untuk diajak masuk menuju kelas.
Bel tanda waktu pulang berbunyi, Marsha berjalan menuju lapangan, seperti biasa ia mencari sosok Mita dan Yana yang sudah lebih dahulu di halaman sekolah menunggunya. Namun matanya tertuju kepada sosok pria tinggi putih tampan yang sangat dirindukan Marsha.
“Ayah....” Teriak Marsha dari kejauhan sambil berlari ke arah Fahri.
Fahri menghentikan pembicaraannya dengan Mita yang merupakan sahabat istrinya itu. Ia merentangkan tangannya dan sedikit membungkukkan tubuhnya untuk memeluk Marsha.
“Ayah, Aku seneng deh kalau Ayah pulang, apa lagi jemput Marsha ke sekolah,” ucap Marsha bahagia.
“Marsha, Tante sama Yana pamit dulu ya, Assalammualaikum,” pamit Mita kepada Marsha.
“Waalaikumsalam,” jawab Marsha dan Fahri kompak.
“Ayah kita ke mall yuk,” ajak Marsha kepada Fahri. Salah satu yang Marsha senangi jika Fahri pulang dari lapangan adalah berbelanja mainan dan makanan bersama ayahnya itu.
“Yuk,” ucap Fahri sambil menggendong anak semata wayangnya itu.
“Ayah, tapi jangan bilang Bunda, kalau yang ngajak ke mall Aku. Bilang aja Ayah ya. Soalnya nanti Bunda marah,” ucap Marsha yang sudah duduk di mobil pribadi milik ayahnya itu.
“Kalau Ayah yang dimarahin gimana?” Tanya Fahri sambil tersenyum.
“Ya gak apa-apa,” jawab Marsha sambil tertawa.
Melihat Marsha yang tertawa lepas, Fahri tersenyum lebar seakan ia juga merasakan kebahagiaan Marsha.
🌻
Waktu menunjukkan pukul 17.00, mobil Fahri sudah tiba di halaman rumah, di samping Fahri ada Marsha yang mulai lelah karena bermain di area bermain anak di mall dan juga memilih mainan-mainan yang disukainya. Tiba-tiba Marsha merubah posisi duduknya,
“Ayah itu mobil Bunda kok udah di garasi? Berarti Bunda udah pulang dong,” ucap Marsha seketika merasa panik.
“Ya bagus dong kalau Bunda pulang cepat, berarti Bunda udah masak buat Kita,” ucap Fahri sambil memarkirkan mobilnya di belakang mobil milik Aliana.
“Tapi mainannya gimana Ayah?” tanya Marsha kembali. Ia sudah mengetahui sifat Aliana yang mudah marah, jika ia membeli mainan banyak.
“Ayah yang bawa ya!” Pinta Marsha kepada Fahri memelas.
Fahri hanya tersenyum geli melihat Marsha yang merasa panik. Ia segera mengambil di kursi penumpang bagian belakang beberapa belanjaan dari mall yang tadi dibelinya termasuk mainan Marsha.
“Yuk masuk,” ajak Fahri santai kepada anaknya itu yang sedang merasa panik.
“Assalammualaikum,” salam Fahri kepada Aliana yang sedang tidak sendiri, namun ada seorang wanita berusia 64 tahun di sampingnya.
“Waalaikumsalam,” jawab Aliana dan wanita itu kompak.
Sedangkan Marsha masih bersembunyi di balik badan Fahri yang tinggi.
“Mami? Kapan sampai?” Tanya Fahri kepada wanita itu sambil mencium tangannya.
“Baru aja sampai,” ucap wanita di sebelah Aliana itu sambil tersenyum.
“Cucu Mami mana?” Tanya Rima yang merupakan ibu dari Aliana itu.
“Nenek....” teriak Marsha yang sedari tadi berada di belakang punggung Fahri. Ia segera berlari memeluk neneknya itu.
“Eh cucu nenek yang cantik di situ ternyata,” ucap Rima tersenyum.
“Lah itu bawa apa Mas? Banyak banget belanjaannya,” Tanya Aliana sambil mengerutkan dahinya, karena penasaran.
“Ini stok makanan buat di rumah,” ucap Fahri tersenyum melirik ke arah Marsha yang berada di pangkuan Rima.
“Coba sini Aku liat, Aku curiga, pasti beli mainan lagi,” ucap Aliana sambil menarik kantung plastik besar yang dibawa Fahri.
“Tuh kan bener. Marsha mainan Kamu itu udah banyak. Masih aja beli mainan lagi! Buang-buang uang aja,” ucap Aliana kesal.
Marsha hanya terdiam di pangkuan Rima, ia tidak bisa berkata apapun, jika ia berbicara pun Aliana akan tambah memarahinya.
“Aku yang beliin, biarin aja lagian sekali-kali ya Sha,” ucap Fahri membela Marsha anaknya.
“Iya sekali-kali setiap dua pekan sekali pas Mas Fahri off, jadinya sama aja berkali-kali,” ucap Aliana yang merasa kesal.
“Hussh... udah..udah.Lin biarin aja kenapa? Anak Kamu dibeliin papanya ini,” ucap Rima sambil mengelus rambut Marsha yang tidak berbicara sepatah kata pun.
“Mi, Lina itu beberapa bulan lagi mau lahiran, butuh dana besar, jadi ya sebisa mungkin kita harus menghemat pengeluaran,” jelas Aliana yang meninggalkan Fahri, Marsha, dan Ibunya. Ia segera masuk menuju kamarnya. Sedangkan Fahri segera menyusul Aliana.