Tak ada yang lebih hampa dari pagi yang lupa caranya bersuara. Matahari memang muncul, tapi ia tidak menyapa. Cahaya menggantung, seperlunya saja, seolah takut mengganggu embun yang masih tertidur di ujung-ujung daun kamboja. Di kota kecil yang tak tercantum di peta utama itu, Senjani hidup seperti paragraf yang tak selesai: berjalan, bernapas, tapi tak pernah benar-benar sampai.
Ia menyeduh teh tanpa gula, seperti biasa. Dalam dunia yang penuh kebisingan manis, ia memilih getir sebagai teman. Daun teh mengembang perlahan di gelas kaca, seperti ingatan yang tak diundang tapi tahu caranya kembali. Di luar, Sejiwa sedang menyapu halaman sambil bersenandung lagu yang tak dikenal. Suaranya serupa doa yang tak pernah dipanjatkan dengan suara, tapi selalu sampai ke langit.
“Pagi tak perlu sempurna,” kata Sejiwa, tak menoleh. “Yang penting ia datang.”
Senjani tidak menjawab. Ia hanya menatap teh yang kini berubah warna—dari bening menjadi pekat, dari biasa menjadi dalam. Ia tahu, setiap pagi yang datang adalah pengulangan dari semalam yang tak tuntas.