“Habiskan selagi hangat,” katamu sambil menggenggam tanganku.
Kamu selalu mengambil bagian cokelat, dan aku keju.
Kita selalu bertemu di tengah loyang,
meskipun tak selalu suka rasa yang sama.
Martabak manis dua rasa itu kini hanya sisa—tinggal remah di piring kertas. Di sudut kedai kecil yang sama, tawa kita dulu masih terpantul samar di dinding kusam. Meja kayu itu masih menyimpan kenangan kita—tentang malam yang terlalu manis untuk diulang.
Senjani masih bisa mengingat bagaimana Sejiwa mencolek bagian keju dari sisi martabak miliknya, lalu tertawa saat ia protes pelan.
“Manis itu bukan dari martabaknya,” kata Sejiwa waktu itu. “Tapi dari kamu yang diam-diam tetap biarkan aku nyolong bagianmu.”
Senjani hanya mengangguk. Malam itu terasa biasa, namun ternyata menjadi malam terakhir sebelum semuanya berubah.
Bunyi detakan mesin medis mengisi ruangan. Bukan senyap, tapi hampa—seperti waktu yang menggantung di antara hidup dan tidak.
Seorang pria berdiri di dekat jendela ICU, memunggungi ranjang yang tertutup tirai setengah terbuka. Pundaknya kaku, tapi bayangannya bergetar halus di lantai. Satu tangan dimasukkan ke saku jas, satunya lagi mengepal pelan di sisi tubuh. Ia seperti sedang menghitung napasnya, menolak menoleh, seolah kebenaran ada di balik satu pandangan yang belum sanggup ia terima.
Tak ada nama disebut. Tak ada wajah tampak. Hanya layar monitor yang menyala lambat, menunjukkan denyut yang masih bertahan.