Senjani terbangun di atas ranjang berbalut seprai putih gading, lembut seperti kabut pagi. Cahaya jingga yang redup merambat masuk dari celah tirai panjang. Ia menoleh perlahan, dan menemukan dirinya dalam sebuah kamar yang asing—terlalu megah, terlalu sunyi. Semuanya tampak terlalu rapi, terlalu sempurna, seolah setiap sudut ruangan enggan disentuh oleh kehidupan.
Di sisi ranjang, ada setangkai bunga salju dalam vas kaca bening—bunganya nyaris transparan, seolah tidak benar-benar ada. Hanya keheningan yang menemani, sampai langkah sepatu terdengar menghampiri.
Satria membuka pintu dengan wajah yang sulit dibaca. Ia mengenakan kemeja linen krem yang bersih tanpa cela. Senjani menoleh, mencoba menahan detak jantungnya yang tak menentu.
“Makan pagi sudah siap,” ucapnya datar.
Senjani mengangguk pelan. Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong rumah besar itu, tapi tak satu pun dari mereka saling menyentuh. Di dinding, tergantung lukisan-lukisan pemandangan bersalju, tapi entah mengapa, semuanya tampak dingin dan jauh—seperti kenangan yang tidak ingin diingat.
**
Di ruang makan, meja panjang dihiasi serbet putih dan peralatan makan dari perak. Tapi hanya dua piring yang terisi. Senjani menarik kursinya dengan hati-hati dan duduk. Satria mengisi cangkirnya dengan teh hangat tanpa bicara.
“Rumah ini terlalu besar,” bisik Senjani akhirnya.
“Rumah ini untuk kita,” jawab Satria. “Bukankah ini yang kau impikan?”
Senjani terdiam. Ia ingin berkata bahwa ini bukan tentang rumah. Tapi tentang ruang yang terlalu kosong, tentang bayangan yang seharusnya ada tapi tak pernah muncul.