Tak ada suara selain napas sendiri.
Bahkan detik pun terasa malas berdetak.
Senjani melangkah di lorong rumah megah itu, mengenakan gaun putih pucat yang terlalu besar di tubuhnya yang terasa kecil. Langkahnya menggema. Suara sepatunya membentur lantai marmer yang dingin, seolah memantul kembali sebagai pertanyaan yang belum sempat dijawab. Rumah ini bukan rumahnya. Tapi di dalamnya, ada segala hal yang diam-diam pernah ia inginkan — dan juga yang tak pernah ia sangka akan menyakitkan.
Di sebuah ruangan dengan jendela tinggi dan tirai mengambang, Satria duduk membelakangi cahaya. Ia memegang buku, entah apa isinya, tapi yang jelas tak sedang dibaca. Ketika Senjani muncul di ambang pintu, pria itu hanya mendongak sekilas. Tak ada senyum, tak ada tegur. Hanya isyarat pelan untuk duduk di kursi seberang. Jarak yang dijaga seketat sunyi.
"Sudah makan?" tanya Satria akhirnya, dingin dan datar.
Senjani mengangguk. Tapi sebenarnya, ia tidak ingat apakah tadi sudah makan atau belum. Di tempat ini, waktu tidak berjalan seperti seharusnya. Hari bisa siang tanpa pagi. Malam bisa datang tanpa pernah diberi senja.
Mereka duduk lama dalam diam.