Martabak Manis Dua Rasa

Rio Nhana
Chapter #6

Bab 6. Di Antara Halte dan Halusinasi

Langit sore terbakar lembayung ketika Senjani melangkah keluar dari toko buku kecil di sudut jalan—toko itu menjual lebih banyak kenangan daripada buku, dan sore itu, kenangan terasa berat. Tas kainnya ringan, hanya satu buku catatan baru, tapi pundaknya terasa seperti memikul ulang tahun terakhir Sejiwa yang tak pernah sempat dirayakan.

Ia berjalan pelan, menyusuri trotoar tempat mereka dulu berbagi senyap dan cerita. Di halte tua yang kayunya mulai lapuk, ia duduk. Angin membawa wangi roti panggang dari kafe seberang jalan—bau yang pernah membuat Sejiwa menoleh dengan mata menyala. Kini, semua hanya milik dirinya sendiri.

Senjani membuka buku catatannya, menulis satu kalimat:

"Aku tidak tahu dunia mana yang lebih nyata—yang kutinggalkan, atau yang kutinggali."

Langit mulai turun hujan lagi. Halte itu memberinya perlindungan sementara, seperti pelukan masa lalu yang tahu batas waktu.

Malamnya, ia kembali ke rumah megah Satria. Rumah itu masih terlalu besar bagi perasaan yang selalu ingin bersembunyi. Dindingnya dingin, lantainya memantulkan langkah, dan tak ada satu pun foto tergantung di dinding, seolah tak ada masa lalu yang pantas dipajang.

Senjani duduk di ruang tengah yang terasa hampa, cahaya kuning lampu menggantung seperti bulan palsu. Terdengar langkah kaki dari lantai dua. Satria muncul, mengenakan pakaian tidur yang terlalu rapi. Matanya tajam, namun sorotnya lelah. Mereka saling pandang seperti dua orang asing yang pernah berbagi satu rahasia.

Lihat selengkapnya