Sudah tiga bulan. Tiga bulan lamanya sejak Sejiwa terbaring dalam sunyi, tubuhnya tetap hangat, tetapi raganya tak pernah lagi membuka mata. Senjani setiap hari datang, duduk di sisi ranjang rumah sakit yang kini menjadi altar tempatnya berdoa dalam diam. Wajah Sejiwa yang tenang membuatnya seolah sedang tidur, tapi dokter-dokter itu datang dan pergi, menyampaikan hal yang sama: tidak ada perkembangan yang signifikan.
Hari ini, langit tampak lebih sendu dari biasanya. Rintik gerimis yang turun sejak pagi seperti mengiringi kesedihan yang menua di dalam dada Senjani. Ia datang lebih pagi dari biasanya, tak lagi membawa martabak manis dua rasa. Tak ada lagi harapan yang dibalut dalam adonan manis itu. Yang tersisa hanya rasa letih dan sesal yang tak habis-habis.
Di bangku panjang dekat jendela rumah sakit, Satria duduk memandangi Senjani yang hanya diam, seperti patung dalam galeri luka. Ia sudah terbiasa menemani Senjani kini, tanpa alasan yang pasti selain rasa iba yang tumbuh menjadi perhatian yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih hangat—meski ia tak berani menamai perasaan itu.
“Aku kira hari ini kamu nggak datang,” ucap Satria pelan, memecah senyap yang menggantung.
“Aku juga pikir aku nggak akan datang lagi,” jawab Senjani lirih, matanya masih terpaku pada Sejiwa.
Satria tak menjawab. Ia menatap perempuan itu dengan mata yang tak sekadar melihat. Ada kekosongan dalam sorot mata Senjani yang membuat dadanya sesak. Tiga bulan adalah waktu yang panjang untuk menunggu seseorang yang tak memberi tanda akan kembali. Dan selama tiga bulan itu pula, Satria melihat perlahan, Senjani mulai layu.
“Kamu harus jaga dirimu juga,,” ucap Satria, pelan. “Kalau kamu sakit, siapa yang akan jagain kamu?”