Martabak Manis Dua Rasa

Rio Nhana
Chapter #9

Bab 9. Rumah yang Tak Sepenuhnya Rumah

Sudah lima bulan sejak Sejiwa tak lagi membuka mata. Lima bulan yang terasa seperti satu musim hujan yang tak pernah reda. Hari-hari Senjani seperti berjalan dalam satu warna kelabu, seperti pagi yang tak kunjung jadi siang. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah ketidakpastian—melainkan diam panjang yang menggantung di antara harap dan penyangkalan.

Hari itu, langit mendung saat Senjani membuka pintu untuk seorang tamu yang tidak diundangnya: ibu Satria.

Perempuan paruh baya dengan sanggul rapi dan tatapan tajam itu berdiri tegak di ambang pintu, matanya menyapu Senjani dari atas ke bawah. Tak ada senyum. Tak ada sapaan hangat.

“Assalamualaikum,” ucapnya hambar, lalu melangkah masuk tanpa menunggu jawaban. Udara di ruang tamu pun berubah dingin, seolah semua kehangatan ikut keluar bersamanya saat pintu tertutup.

Satria menyambut ibunya dengan pelukan singkat. “Ibu, ini mendadak sekali.”

“Aku harus melihat langsung bagaimana keadaan rumah ini. Setidaknya, kamu tidak benar-benar tinggal bersama perempuan asing yang tidak mencintaimu,” ucapnya lirih namun tajam, seolah Senjani adalah noda yang menempel di taplak meja makan mereka.

Senjani hanya diam, menunduk. Rasanya seperti kembali ke hari pernikahannya—saat semua orang melihatnya sebagai pengganggu takdir, sebagai istri dari laki-laki yang bukan cintanya.

Ibu mertua itu melihat sudut ruang, jendela yang berdebu, gelas yang belum dicuci, lalu berkata dengan nada dingin, “Rumah ini tidak terasa seperti rumah keluarga.”

Lihat selengkapnya