Martabak Manis Dua Rasa

Rio Nhana
Chapter #10

Bab 10. Malam yang Tidak Pernah Direncanakan

Senjani duduk sendiri di ujung ranjang. Udara malam menetes pelan dari sela-sela ventilasi, membawa dingin yang lembut. Sejiwa masih terbaring di rumah sakit, masih koma, masih diam seperti waktu yang beku. Hari-hari menjenguknya mulai menjadi jarang. Bukan karena ia berhenti peduli—tetapi karena hatinya mulai terbelah oleh rasa bersalah yang tak bisa lagi ia tutupi.

Satria masuk ke kamar dengan langkah pelan, membawa secangkir teh hangat.

"Aku buatkan ini, biar kamu nggak masuk angin," katanya pelan.

Senjani hanya tersenyum kecil. Tangannya yang dingin menerima cangkir itu, menyentuh jari Satria yang hangat. Sentuhan itu tidak disengaja, tapi Senjani tidak buru-buru menariknya.

Beberapa malam terakhir mereka tidur dalam kamar yang sama karena Ibu Satria—ibu mertuanya—datang menginap, dan Senjani tahu betul wanita itu memperhatikannya seperti kamera pengintai. Cibiran halus terus dilemparkan padanya: tentang cara ia melipat pakaian Satria, tentang cara ia membuatkan teh, tentang bagaimana ia tak bisa menjadi “istri seutuhnya”. Setiap kata menjadi panah kecil yang menusuk pelan.

Satria tahu itu.

Karena itu malam ini, saat mereka berdua dalam kamar dan lampu kecil menyala redup, Satria duduk di sebelah Senjani di ranjang yang sama. Ia tak berkata apa-apa pada awalnya, hanya menatap Senjani lama, seakan sedang membaca puisi yang rumit dari wajahnya.

"Kamu kelihatan capek," bisik Satria.

Senjani mengangguk pelan, menghirup aroma melati dari teh hangat di tangannya. "Capek yang nggak tahu dari mana datangnya."

"Mungkin dari terlalu banyak menyimpan semuanya sendiri."

Lihat selengkapnya