Sudah genap satu tahun sejak Sejiwa tertidur panjangnya. Tubuhnya masih hangat, tapi jiwanya entah di mana. Selama itu pula, Senjani menjalani kehidupan sebagai istri dari pria yang tidak pernah ia bayangkan akan berbagi ranjang dengannya: Satria, lelaki yang dulu hanya sebatas nama dalam kisah kecil di beranda rumah Sejiwa.
Malam ini hujan turun pelan. Seperti biasa, udara dingin menggiring Satria lebih cepat pulang. Sejak pernikahan mereka, rumah yang dulu hanya berisi kehampaan, mulai berisi rutinitas-rutinitas kecil yang terasa nyata—seperti kopi yang selalu Senjani siapkan di meja kerja Satria, dan jaket yang selalu dilipat rapi di kursi depan kamar.
Tapi malam ini berbeda. Saat Senjani hendak menyapu remah roti di meja makan, pintu rumah diketuk keras.
“Senjani, buka. Ini Ibu.”
Suara itu tajam. Senjani sedikit tertegun sebelum akhirnya membukakan pintu. Di hadapannya berdiri seorang perempuan berumur dengan mantel cokelat tebal dan wajah dingin yang tak berubah sejak pertemuan terakhir mereka.
"Masuk, Bu," ucap Senjani pelan.
Ibu Satria melangkah masuk seperti badai yang tak bisa dicegah. Tatapannya menyapu ruangan, lalu berhenti pada perut Senjani yang rata.
“Setahun. Kamu sudah menikah dengan anak saya setahun, tapi perutmu masih serata jalan tol,” katanya sinis. “Apa kamu mandul?”
Senjani menggenggam ujung bajunya erat-erat.
“Ibu…” suaranya tertahan.
“Jangan ‘Ibu-Ibu’ ke saya. Kamu pikir saya menikahkan Satria dengan kamu untuk main drama rumah tangga? Saya butuh cucu. Perusahaan keluarga ini tidak bisa terus menunggu.”