Pagi itu, matahari tak benar-benar bersinar. Kabut tipis menyelimuti jendela kamar, dan aroma seduhan teh di dapur belum sempat menyapa hidung Senjani. Tubuhnya terasa ringan sekaligus berat. Ada sesuatu yang ganjil. Perutnya mual, kepalanya pusing, dan dunia seperti melayang. Ia sempat mengira hanya kelelahan, tapi firasat di dalam dirinya berkata lain—ada sesuatu yang sedang tumbuh, mungkin… sesuatu yang baru.
Satria yang baru saja selesai mandi, mendapati Senjani duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya. Wajahnya pucat.
“Ada apa?” tanya Satria cepat, mendekat dan berlutut di depannya.
“Aku... nggak tahu, mungkin masuk angin atau apa. Tapi aku merasa pusing dan mual sejak semalam,” jawab Senjani dengan suara pelan.
Satria langsung mengambil jaket dan mengajak istrinya ke rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, tangannya menggenggam tangan Senjani erat. Diam-diam, hatinya berdoa — semoga ini bukan penyakit yang aneh-aneh. Namun ia juga menyimpan satu harapan sunyi yang selama ini tak pernah ia ungkapkan dengan jelas: kehadiran seorang anak.
Dua jam kemudian, di sebuah ruang putih dengan aroma antiseptik yang khas, dokter tersenyum sambil menunjukkan hasil USG.
“Selamat, Bu Senjani. Anda positif hamil. Usia kandungannya kira-kira lima minggu.”
Waktu berhenti.
Senjani menatap layar monitor, tempat detak kecil berdenyut begitu lemah, namun nyata. Tangannya gemetar saat menyentuh perutnya sendiri. Ia menoleh pada Satria yang masih terpaku, lalu perlahan meneteskan air mata. Satria langsung memeluk Senjani. Untuk pertama kalinya, pelukan itu terasa… utuh.
“Aku akan jadi ayah?” bisik Satria, hampir tak percaya.