Ada jeda yang menggantung saat mata Sejiwa menatapnya—bukan seperti seseorang yang lupa, tapi juga belum sepenuhnya ingat. Di ruangan putih yang terlampau tenang itu, waktu seolah tak ingin bergerak. Senjani berdiri mematung di ambang pintu. Tangannya menggenggam laporan hasil USG yang belum ia buka sepenuhnya. Di belakangnya, Satria berdiri dalam diam, seolah tahu, ini bukan bagian dari percakapan yang bisa ia ikutkan suaranya.
“Jiwa,” bisik Senjani lirih, nyaris tak terdengar.
Sejiwa menoleh perlahan. Wajahnya pucat, namun ada sedikit semburat yang membuatnya tampak hangat. Matanya menatap dalam—mata yang dulu pernah membuat Senjani percaya pada kesembuhan dari rasa kehilangan.
“Sen...” suara Sejiwa serak. Satu suku itu saja sudah membuat napas Senjani tercekat.
Ia melangkah pelan, duduk di sisi ranjang. Tangannya menyentuh jemari Sejiwa yang dingin tapi tak lagi beku. Ada kehidupan yang kembali ke sana, meski perlahan.
“Aku... aku di mana?” tanya Sejiwa, matanya berkeliling, mencoba mengingat sesuatu yang masih bersembunyi di balik kabut.
“Kamu di rumah sakit,” jawab Senjani pelan, mencoba menahan suara agar tidak pecah. “Sudah lama.”
“Berapa lama?”
Senjani menunduk. “Cukup lama untuk banyak hal berubah.”
Sejiwa diam. Pandangannya seperti menembus langit-langit ruangan. Ia tidak bertanya lebih jauh. Hanya menarik napas dalam-dalam, seperti seseorang yang sedang kembali ke tubuhnya setelah tersesat terlalu jauh dari bumi.
Senjani ingin bercerita—tentang malam-malam yang hening, tentang doa-doa yang jatuh ke lantai, tentang dirinya yang sempat kehilangan arah, tentang Satria, tentang bayi di dalam rahimnya. Tapi semuanya terasa terlalu padat untuk dimasukkan ke dalam satu percakapan.