Udara di ruang neuro unit seperti beku. Dinding-dinding putih tampak lebih dingin dari biasanya, seakan menahan napas bersama mereka yang berjaga. Lampu-lampu tak bersuara menggantung di langit-langit, memandikan ruangan dengan cahaya temaram. Di tengahnya, tubuh Senjani terbaring diam, dikelilingi oleh selimut teknologi — selang-selang, monitor vital, dan layar EEG yang sejak berminggu-minggu terakhir hanya menunjukkan garis-garis datar dengan denyut tipis.
Namun pagi itu, garis yang biasanya datar itu mulai bergerak.
Pertama, hanya seperti riak kecil di permukaan air yang tenang. Lalu riak itu bertumbuh, bergetar. Garis di layar EEG melonjak sesaat—tidak drastis, tapi cukup membuat seorang perawat yang memantau grafik itu menahan napas dan segera memberi kode pada rekan tim medisnya. Ketegangan merayap perlahan.
“Dapatkan dokter Arsa,” bisik salah satu perawat, dan langkah-langkah tergesa segera menggema di lorong.
Satria, yang sejak tadi duduk di sisi ranjang, langsung berdiri. Ia sudah terbiasa menahan harap, tapi lonjakan kecil itu seperti percikan api di tengah gelap yang pekat. Ia menatap layar. Tangannya menggenggam tangan Senjani yang masih dingin, masih diam.
“Senjani...” panggilnya, suaranya pelan namun bergetar, “Sayang, kalau kamu bisa dengar aku... ini aku. Satria.”
Para dokter mulai berkumpul. Detak jantung Senjani tetap stabil, namun grafik EEG menunjukkan sesuatu yang baru—gelombang-gelombang halus namun nyata, tanda-tanda dari kedalaman kesadaran yang selama ini sunyi.