Cahaya redup lampu neon masih memantul di dinding putih ruang perawatan intensif. Suara detak mesin medis berpadu dengan desahan lembut oksigen. Waktu di ruangan itu seolah berjalan lambat. Semuanya menanti satu hal: keajaiban yang telah mulai mengetuk.
Senjani masih terbaring. Matanya terbuka, tapi tak sepenuhnya hidup. Sorotnya seperti mencari makna pada cahaya. Di sisi ranjang, Satria duduk dengan wajah penuh kecemasan yang mencoba dikendalikan. Ia tahu, detik ini terlalu rapuh untuk diisi dengan kepanikan. Tangannya masih menggenggam tangan Senjani, jari-jarinya hangat, seakan menyalurkan rasa yang ingin tetap hidup.
"Senjani... kamu tahu aku?" tanyanya perlahan, suara bergetar.
Mata Senjani bergeser, pelan. Ia mencoba memahami wajah di hadapannya. Ada genangan di sudut matanya, tapi bukan karena sedih. Mungkin itu adalah sisa dari perjalanan panjang yang baru saja ia lewati.
“Aku… aku seperti kembali dari tempat yang asing,” ucapnya lirih. Suaranya serak, nyaris tak terdengar.
Satria menahan napas, lalu mengangguk, “Tidak apa-apa… Kamu sudah kembali.”
Tiba-tiba, dari ujung ruangan terdengar langkah kecil. Seorang gadis mungil berlari pelan, memeluk kaki Satria, lalu mengintip ke arah ranjang dengan rasa penasaran yang tak bisa ditahan. Matanya bulat, pipinya kemerahan karena baru bangun tidur.
"Papa… mama,,?" tanyanya lirih, suara bocah berusia tiga tahun yang belum benar-benar paham arti sakit atau kehilangan.
Senjani memalingkan wajahnya perlahan. Dan saat pandangannya bertemu dengan mata gadis kecil itu—mata yang begitu mirip dengan miliknya sendiri—sebuah kebingungan melintas di wajahnya.