Lorong rumah sakit itu tak lagi asing bagi Satria. Setiap ubin yang ia injak, setiap suara sepatu perawat, bunyi pintu geser, semuanya seperti bagian dari simfoni sepi yang terus berulang. Tapi pagi itu, berbeda. Ada pertemuan dengan tim medis. Wajah-wajah yang biasanya netral kini terlihat lebih tegas, penuh kehati-hatian.
Dokter utama Senjani membuka pembicaraan dengan suara tenang tapi berat, “Pak Satria, kami perlu membicarakan beberapa hal yang penting terkait kondisi Ibu Senjani.”
Satria hanya mengangguk. Tangannya menggenggam erat berkas hasil EEG, yang tadi malam nyaris ia hafal garis demi garisnya.
“Secara medis, kami menyebut ini kondisi vegetatif persisten. Aktivitas otaknya minimal. Tidak ada respons sadar, dan… prognosisnya belum menunjukkan perubahan signifikan.”
Satria masih diam. Matanya hanya menatap meja.
“Bapak berhak tahu bahwa beberapa keluarga dalam kasus serupa memilih jalur palliative—melepas alat bantu secara bertahap. Ini bukan keputusan mudah, tapi kami berkewajiban menyampaikan…”
Kalimat itu menggantung. Seperti tali yang menjerat, perlahan tapi pasti.
Namun Satria mengangkat wajahnya. Matanya sembab, tapi suaranya bulat, nyaris berbisik: “Dia belum menyerah. Aku bisa merasakannya.”