Satria menatap layar hasil pemindaian MRI fMRI otak Senjani dengan pandangan yang tak berkedip. Di sampingnya, berdiri seorang pria paruh baya berkacamata tebal dan berwajah tenang—Dr. Arya S. Ramadhan, ahli neurologi dari laboratorium riset kognisi di Jakarta yang sebelumnya menjadi dosen tamu di Kyoto University.
“Yang kita lihat di sini bukan hanya aliran darah, Satria. Tapi sisa-sisa percikan mimpi. Otaknya masih menyala, walau tidak terjaga.”
Suara Dr. Arya seperti lentera yang menyala dalam lorong gelap. Ia menjelaskan bahwa meskipun Senjani dalam koma, aktivitas default mode network (DMN) di otaknya masih bisa dipancing. Ia menunjuk bagian yang disebut precuneus—bagian yang biasa aktif saat manusia merenung, bermimpi, atau mengingat masa lalu.
“Apa yang bisa kita lakukan?” suara Satria pelan, namun sarat ketegangan.
“Membuatnya percaya bahwa ia masih hidup.”
Satria sempat tidak memahami.